Reporter: Petrus Dabu | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Dampak Pemberlakuan bea keluar ekspor biji kakao semakin terasa. Jumlah investor yang akan melakukan investasi di bidang pengolahan biji kakao terus bertambah. Yang terbaru, perusahaan pengolah kakao asal Swiss, Barry Callebout digandeng PT Comextra Majora, untuk mendirikan pabrik pengolahan biji kakao dengan investasi US$ 35 juta.
Jimmy Wisan, Presiden Direktur Comextra Majora, mengatakan, pabrik yang berlokasi lokasi di Makassar, Sulawesi Selatan tersebut akan beroperasi bulan Februari 2013. "Pembangunan pabrik kita rencanakan selesai dalan waktu enam bulan," kata Jimmy, Rabu (9/5).
Jimmy mengatakan, investasi tahap awal pembangunan pabrik tersebut US$ 35 juta. Perinciannya, 40% berasal dari Comextra Majora dan 60% dari Barry Callebout.
Pabrik pengolahan kakao ini akan terdiri dari empat line produksi. Setiap line membutuhkan bahan baku sekitar 35 juta ton. Namun, Jimmy bilang, yang dibangun dalam waktu dekat hanya dua line dulu. "Pembangunan selanjutnya tergantung dengan suplai bahan baku dan konsistensi kebijakan pemerintah," kata Jimmy.
Adapun, produk olahan yang dihasilkan, baik di tahap pertama maupun kedua adalah cocoa powder dan cocoa butter. Namun kedepan, akan dipertimbangkan untuk mengolah kakao ke industri yang lebih hilir yakni cokelat.
Peminat masih banyak
Sekadar mengingatkan. Pemerintah memberlakukan bea keluar ekspor biji kakao sejak 1 April 2010 untuk mendorong industri hilir kakao. Selama ini, pengusaha lebih banyak mengekspor biji kakao.
Sejak penerapan bea keluar tersebut, banyak investor baru yang berminat masuk di sektor pengolahan biji kakao di dalam negeri. Beberapa diantaranya adalah Archer Daniels Midland Cocoa (ADM Cocoa) asal Singapura, Cargill dari Amerika Serikat, dan JB Cocoa dari Malaysia. Banyak pula perusahaan pengolah kakao di dalam negeri yang sebelumnya mati suri karena kesulitan bahan baku, kini bangkit kembali.
Sindra Wijaya, Direktur Eksekutif, Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) mengatakan, masih banyak investor asing yang tertarik untuk mengembangkan usahanya di Indonesia. Meski tidak merinci, terdapat tiga perusahaan kakao lokal yang meningkatkan produksinya. Bahkan Sindra bilang, untuk Cargill nilai investasinya mencapai US$ 100 juta. "Cargill rencananya akan membangun di Makassar," jelas Sindra.
Perkembangan positif dari industri pengolahan kakao dalam negeri juga tercermin dari peningkatan kapasitas produksi dari 130.000 ton pada tahun 2009, menjadi 280.000 ton pada tahun 2011. Selain itu, tambahan investasi baru yang direncanakan beroperasi pada tahun 2013 bakal meningkatkan kapasitas produksi industri pengolahan kakao menjadi 400.000 ton pada tahun 2014. Tahun ini, dari produksi kakao yang diprediksi mencapai 500.000 ton, sebanyak 24% pasarnya ekspor sedangkan 76% terserap di pasar dalam negeri.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), volume ekspor kakao olahan tahun 2011 mencapai 178.000 ton, naik 117% dari tahun 2009 yang sebanyak 82.000 ton. Sedangkan untuk ekspor biji kakao, turun dari 439.000 ton menjadi 210.000 ton di tahun 2011.
Tahun lalu masih terdapat tiga perusahaan pengolah biji kakao yang belum beroperasi, yaitu PT Industri Kakao Utama (Kendari), PT Kopi Jaya Kakao (Makassar) dan PT Budidaya Kakao Lestari (Surabaya). Sementara, perusahaan yang beroperasi kembali setelah sempat mati suri antara lain PT Effem Indonesia (Makassar) berkapasitas 17.000 ton per tahun, PT Jaya Makmur Hasta (Tangerang) 15.000 ton, PT Unicom Kakao Makmur Sulawesi (Makassar) 10.000 ton per tahun.
Tahun lalu, pabrik pengolahan kakao Guan Chong Bhd asal Malaysia yang memiliki kapasitas pabrik sebesar 65.000 ton per tahun. Perusahaan ini akan meningkatkan produksi kakao olahannya pada tahun 2012 ini menjadi 720.000 ton.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News