Reporter: Tane Hadiyantono | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penguatan dollar memberikan berkah bagi budidaya mutiara. Mengingat mayoritas mutiara untuk pangsa ekspor khususnya Hong Kong dan Jepang.
Dalam catatan Badan Pusat Statistik, pada periode awal tahun ini hingga Agustus, ekspor telah naik 181,24% dibandingkan periode sama tahun lalu menjadi US$ 22,76 juta.
Tapi menurut Mulyanto, Sekretaris Jenderal Asosiasi Budidaya Mutiara Indonesia (Asbumi) menyampaikan sesungguhnya kinerja ekspor di lapangan bisa jadi lebih tinggi dari angka tersebut, pasalnya dalam data yang ia miliki, ekspor mutiara pada periode sama telah mencapai US$ 28,41 juta.
Kemungkinan angka tersebut juga sudah mencakup ekspor mutiara budidaya yang diolah menjadi perhiasan juga.
Mulyanto menjelaskan, untuk mutiara menggunakan hitungan dari Jepang di mana 3,75 gram disebut sebagai 1 mome. Harga premium satu mome bisa mencapai 5.000 yen
"Sedangkan di budidaya harga bisa Rp 100.000 - Rp 150.000, tapi itu kalau di partai besar untuk whole package dan bisa ratusan jutaan itu kalau sudah jadi perhiasan," terang Mulyanto kepada Kontan.co.id, Rabu (10/10).
Mulyanto melanjutkan, secara umum setiap tahun budidaya mutiara bisa menghasilkan 5-7 ton mutiara, dari maksimal 7 ton tersebut sebanyak 6 ton di ekspor dan sisanya untuk dalam negeri. Adapun ekspor tahun lalu menurutnya mencapai lebih dari US$ 50 juta dan tahun ini diperkirakan kurang lebih akan sama.
Namun perdagangan mutiara tidak selalu berkilau, sebagai produk eksklusif, dukungan pemerintah dan pemerintah daerah (Pemda) menurut Mulyanto kurang besar.
Pemda relatif menganggap industrinya sudah jadi sehingga investasi maupun pengembangannya tidak banyak. Padahal dalam fase dua tahun pembenihan hingga pemasangan inti, pembudidaya membutuhkan bantuan finansial juga.
Tak hanya itu, kebanyakan mutiara yang diekspor masih dalam bentuk mentah sehingga nilai tambahnya kalah jauh bila dibanding dengan kalau sudah jadi perhiasan.
Namun mengingat pasar domestik memang tidak terlalu reaktif pada mutiara, maka pilihan budidaya dan pengusaha tetap pada ekspor.
Direktur Jenderal (Dirjen) Perikanan dan Budidaya pada Kementerian Kelautan dan Perikanan Slamet Subiakto menyampaikan tren produksi mutiara memang terus meningkat.
Apalagi program KKP telah meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam produksi sepat dan penanaman nukleus.
"Sehingga mutiara yang kesannya eksklusif, hanya orang tertentu bisa melibatkan masyarakat kecil untuk buat sepat mutiara. Karena memang kurang sekali," jelas Slamet.
Adapun harga mutiara menurutnya bervariasi, yang termahal Sulawesi pearl tapi tergantung bentuk dan warnanya. Selain itu sentra produksi yang terkenal ada juga di NTT, Bali, Papua, Lampung dan dari Kepulauan Riau dan daerah Ambon.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News