Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – LAMPUNG. Komoditas kakao Indonesia sempat mengalami gejolak seiring tren perkebunan yang melemah beberapa tahun terakhir. Namun, kini produktivitas kakao mulai menunjukkan pemulihan dan memberikan dampak baik pada industri pengolahannya.
Sejak mencapai puncak tertinggi pada 2018, produksi kakao konsisten turun hingga 5 tahun setelahnya. Data BPS mencatat produksi kakao pada 2018 mencapai 767.400 ton, lalu turun pada 2019 menjadi 734.700 ton, pada 2020 menjadi 713.400 ton, dan pada 2021 menjadi 706.500 ton.
Kemudian penurunan terjadi lebih dalam pada 2022 dengan catatan produksi kakao menjadi 650.600 ton, dan lanjut menurun pada 2023 menjadi 632.120 ton.
Namun pada 2024, tren penurunan mulai tertahan dengan catatan produksi sebanyak 632.700 ton. Nah sejalan dengan itu, volume ekspor industri pengolahan kakao dalam periode ini mencapai 304.000 ton dengan nilai US$ 2,4 miliar, naik sekitar 50% dibanding tahun sebelumnya.
Baca Juga: Indonesia Kantongi Kesepakatan Awal Bebas Tarif Sawit, Kakao, dan Karet ke AS
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Merrijantij Punguan menilai capaian tersebut merupakan tanda pemulihan yang positif, apalagi mengingat industri pengolahan kakao Indonesia yang berkurang dalam 10 tahun terakhir.
“Indonesia sebelum tahun 2016 memiliki 20 industri pengolahan kakao, namun saat ini tinggal 11 industri,” kata Merri di Pringsewu, Lampung, Kamis (11/9/2025).
Menurut Merri, katalis pemberat utama industri pengolahan kakao adalah produktivitas perkebunan yang terhambat regenerasi petani dan kualitas biji. Ia bilang sebanyak 9 industri pengolahan kakao tutup karena kekurangan bahan baku, sehingga diperlukan importasi sebesar 157.000 ton biji kakao atau setara dengan 55% dari kebutuhan industri.
Namun, Merri memastikan Indonesia masih menjadi produsen olahan kakao terbesar keempat dan produsen biji kakao terbesar ketujuh di dunia. Untuk menjaga capaian tersebut, ia bilang pemerintah terus melakukan penyesuaian dan perbaikan, salah satunya dengan kerja sama perbaikan mutu perkebunan kakao dengan pihak swasta Mondelez Indonesia.
“Saat ini sudah ada lebih dari 30.000 petani yang dibina melalui program Cocoa Life dari Mondalez. Salah satunya di Pringsewu ini, produktivitasnya sudah mencapai 1,5 ton per hektar, melampaui rata-rata nasional di 200.000 kilogram per hektare,” ungkap Merri.
SEA Sustainability Director Mondelez Indonesia Andi Sitti Asmayanti menyebutkan, selain ketidakpastian iklim, masalah utama dalam perkebunan kakao adalah hama penyakit. Maka dari itu, pihaknya mengembangkan biji klon khusus yang dinamai Monica.
“Secara umum Monica memiliki ketahanan yang lebih terhadap hama, penyakit, dan perubahan iklim. Selain itu, kadar lemaknya lebih tinggi, mencapai 56%, yang mana ini paling dibutuhkan industri pengolahan,” ujar Andi dalam kesempatan yang sama.
Baca Juga: Bebas Tarif 19% Jadi Kunci Jaga Daya Saing Kakao Indonesia di Pasar AS
Sejalan dengan perkembangan positif ini, Analis Bidang Peningkatan Daya Saing Produk Perkebunan dan Hortikultura Kementerian Koordinator Bidang Pangan Darto Wahab menyebut pemerintah menargetkan produksi perkebunan kakao nasional mencapai 700.000 kg per hektar.
“Target pemerintah tadinya dua tahun ke depan minimal produksi 500.000 kg per hektar. Dengan adanya pembinaan bibit unggul, harapan kami minimal mencapai 700.000 kg per hektar, agar kita tidak akan impor lagi,” kata Darto.
Selanjutnya: Menkeu Purbaya Jamin Aman, Penempatan Kas Negara di 5 Bank Pakai Skema On Call
Menarik Dibaca: Pasar Kripto Bergairah, Simak Jawara Top Gainers 24 Jam Terakhir
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News