Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Konsistensi pemerintah kembali di uji dalam program hilirisasi sektor pertambangan! Pencetusnya adalah: rencana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bersama Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan membuka kembali ekspor pasir besi. .
Syaratnya: eksportir harus membayar bea keluar. Ini jelas akan membuyarkan target pemerintah untuk mendorong program hilirisasi agar ekspor kita tak melulu ke bahan mentah tapi juga setengah jadi yang bergulir sejak 12 Januari 2014 lalu.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menyatakan, rencana membuka kembali ekspor pasir besi agar negara mendapatkan pemasukan. Sebelum pelarangan itu, ekspor pasir besi bisa mencapai 18 juta ton per tahun.
Agar ekspor terkendali, kata Bambang, pemerintah akan menetapkan bea keluar. Besaran bea keluar sedang dihitung . "Usulan besaran bea keluarnya masih dihitung. Nanti dikenakan kalau mereka (pengusaha pasir besi) ekspor," tuturnya ke KONTAN, Kamis (28/1).
Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Mohammad Hidayat bilang, kemungkinan besaran bea keluar untuk pasir besi akan disamakan dengan konsentrat lainnya seperti konsentrat tembaga milik Freeport yang memang boleh ekspor dengan beberapa persyaratan.
Jika syarat tersebut berlaku, maka berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 153/PMK.011/2014 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar, bea keluar dihitung berdasarkan kemajuan pembangunan atau penyerapan dana investasi pabrik pemurnian atau smelter untuk komoditi mineral.
Misal, jika pembangunan atau biaya investasi smelter mencapai 0%-7,5%, eksportir harus membayar bea keluar 7,5% dari total ekspornya. Bila realisasi pembangunan smelter antara 7,5-30%, bea keluar yang harus dibayar 5%.
Adapun jika progres pembangunan smelter lebih dari 30%, tidak dikenakan bea keluar alias 0%.
Kandungan titanium
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) Ladjiman Damanik menilai, rencana pemerintah menetapkan bea keluar konsentrat pasir besi tak tepat. Sebab, komoditi tersebut mengandung titanium dan ilmenite yang termasuk dalam kategori mineral tanah jarang (rare earth).
Harga kedua komoditas itu sangat mahal. Oleh karena itu, ekspor pasir besi harus tetap ketat. Dalam ketentuan bea keluar yang berlaku saat ini, pemerintah tidak mengatur secara spesifik mengenai produk konsentrat pasir besi.
Regulasi hanya mengatur bea keluar untuk titanium dan ilmenite yang ada di kandungan pasir besi. Tapi jika memang boleh ekspor, "Besaran bea keluarnya harus lebih besar dari konsentrat lainnya. Apalagi, proses pengolahannya lebih complicated karena ada unsur titanium yang harganya mahal," katanya.
Banyak negara dipastikan sangat berminat dengan pasir besi dari Indonesia. "Jepang dan China juga sebagai produsen mineral tanah jarang terbesar di dunia," ujarnya.
Pengamat Pertambangan sekaligus mantan Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Simon F Sembiring menyatakan, pemerintah jangan pilih kasih terkait ekspor komoditas tambang. Ia menyebut sesuai dengan Undang Undang (UU) No 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) bahwa seluruh komoditas pertambangan tidak bisa diekspor dalam keadaan mentah.
"Harus dimurnikan di dalam negeri, atau diolah dalam smelter dulu," terangnya kepada KONTAN, Kamis (28/1).
Jika izin ekspor pasir besi dibuka, pemerintah sudah pasti juga mempertimbangkan ekspor pasir besi FeTi03 yang mengandung titanium yang nilainya jauh lebih tinggi ketimbang pasir besi. "Ini menambah pendapatan negara, tapi diskriminatif," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News