kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.965.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.830   0,00   0,00%
  • IDX 6.438   38,22   0,60%
  • KOMPAS100 926   8,20   0,89%
  • LQ45 723   5,45   0,76%
  • ISSI 205   2,17   1,07%
  • IDX30 376   1,61   0,43%
  • IDXHIDIV20 454   0,42   0,09%
  • IDX80 105   1,01   0,98%
  • IDXV30 111   0,45   0,40%
  • IDXQ30 123   0,28   0,22%

Eksportir China keluhkan penguatan yuan


Rabu, 27 Oktober 2010 / 11:00 WIB
Eksportir China keluhkan penguatan yuan
ILUSTRASI. Bursa Efek Indonesia


Reporter: Femi Adi Soempeno, Bloomberg |

BEIJING. Eksportir China mengeluhkan penguatan yuan terhadap dolar AS. Pasalnya, penguatan tersebut berpotensi membabat penjualan mereka. Hal ini mencuat dalam survei yang dilansir oleh Global Sources Ltd.

Sebanyak 70% dari 239 eksportir yang disurvei selama bulan Juli dan Agustus menyebutkan, pemesanan mereka anjlok dan penjualan juga terpangkas secara signifikan bila yuan menguat sedikitnya 2%.

China memang berada dibawah tekanan dari partner bisnisnya termasuk dari negara-negara Eropa maupun AS yang membiarkan mata uang yuan perkasa dalam waktu yang relatif cepat. Sebagai respons dari kondisi ini, Gubernur Bank Sentral China Zhou Xiaochuan menyatakan, Vhina sebaiknya menghindari shock therapy atas apresiasi mata uang yang kian perkasa. Tak hanya itu saja, PM China Wen Jiabao juga menegaskan, penguatan hingga 20-40% juga akan memperburuk pengangguran China dan berpotensi menyebabkan pergolakan sosial.

"Banyak perusahaan, terutama industri yang menyerap begitu banyak tenaga kerja, kini mengglindingkan margin yang tipis dan tidak punya cukup ruang untuk menyerap kerugian yang ditimbulkan akibat selisih kurs," kata Craig Pepples, COO Global Sources. Menurutnya, bisnis yang memiliki tenaga kerja cukup banyak kemungkinan akan menaikkan harga jualnya bila yuan terus menguat.

Dalam survei ini juga menunjukkan, 75% eksportir menjelaskan, karyawan di perusahaannya meminta gaji yang lebih tinggi. Mereka juga menggarisbawahi meningkatnya biaya bahan baku dan perang harga yang makin sengit.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×