Reporter: Amailia Putri Hasniawati |
JAKARTA. Petani kakao mengeluhkan ulah eksportir kakao yang membebankan seluruh bea keluar (BK) biji kakao kepada petani karena eksportir enggan merugi.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Zulhefi Sikumbang mengaku, pihaknya tidak ada pilihan lain. Eksportir tidak bisa membebankan kepada importir karena importir berpatokan pada harga yang tertera di bursa komoditi New York. Disamping itu, pasar kakao dunia diakuinya sangat oligopoli.
“Pembelinya itu hanya beberapa perusahaan-perusahaan raksasa dunia, seperti Cargil, ADM, Delfi, Effem (Mars), Cadburry,” aku Zulhefi, Rabu (2/6). Alasan lainnya, karena margin keuntungan yang diperoleh eksportir minim, yaitu US$ 25 per ton.
Besaran BK kakao yang dikenakan pada April 10% atau setara dengan US$ 263 per ton atau sekitar Rp 2,4juta per ton atau Rp 2.400 per kg. (kurs Rp 9.200 per US$). Sehingga yang tadinya di tingkat petani harga biji kakao Rp 23.000 per kg, kini hanya sekitar Rp 20.000 an per kg.
“Tetapi rata-rata pedagang pengumpul membebankan lebih dari itu, yaitu sekitar Rp 3.200 per kg lebih rendah,” kilah Zulhefi.
Sekadar mengingatkan, pemberlakuan BK biji kakao yang tadinya 0% dikenakan secara progresif. Ketentuannya, jika harga rata-rata kakao di New York Board of Trade (NYBOT) di bawah US$ 2.000 per ton, maka tarif BK 0%.
Tapi jika harga rata-rata kakao US$ 2.000-US$ 2.750 per ton, maka BK-nya sebesar 5%. Lalu ketika harga kakao di atas US$ 2.750-3.500 per ton maka BK-nya sebesar 10%. Sedangkan saat harga melampaui US$ 3.500, maka BK yang dikenakan adalah 15%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News