Reporter: Agustinus Beo Da Costa | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Program percepatan 10.000 Megawatt (MW) tahap II yang bakal memperbanyak dengan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) tampaknya tidak akan terlaksana tepat waktu. Pasalnya, banyak proyek panas bumi yang banyak ditolak oleh warga di sekitar lantaran bisa merusak lingkungan.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Ridha Mulyana mengatakan, tiga PLTP yang mendapat hambatan dalam pengembangannya yaitu PLTP Ceremai, PLTP Rajabasa, dan PLTP Bedugul Bali. Untuk Ceremai, proyek PLTP yang dimenangkan PT Chevron Geothermal Indonesia pada Januari 2013 lalu itu masih ditolak warga.
Padahal, rencananya, di lahan konsesi seluas 24.000 hektare (ha) tersebut akan dibangun PLTP berkapasitas 2x 55 MW dengan harga listrik sebesar US$ 0,79 per kWh. Investasi yang akan dikeluarkan Chevron sebesar US$ 390 juta sampai US$ 400 juta. "Proyek PLTP Ceremai memang ditolak warga setempat tetapi itu biasa terjadi," ungkap dia, Senin (10/3).
Selain PLTP Ceremai, saat ini kata Ridha, ada juga proyek pembangkit listrik panas bumi yang masih terhambat oleh penolakan masyarakat dan ada juga yang masih menunggu keluarnya izin dari kementerian kehutanan, yakni proyek PLTP Rajabasa dengan kapasitas 2x 110 MW yang dikerjakan PT Supreme Energy. Adapun nilai investasi untuk proyek ini sebesar US$ 700 juta sampai US$ 800 juta.
Terakhir, proyek pengembangan panas bumi yang masih mangkrak adalah PLTP Bedugul Tabanan Bali. Kata Ridha, masyarakat adat di Tabanan dan Bali menolak proyek PLTP Bedugul, karena dianggap merusak lingkungan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News