Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Revisi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2017 - 2026 yang diserahkan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dikembalikan. PLN diminta kembali merevisi beberapa ketentuan.
Revisi itu terutama mengenai pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Kementerian ESDM meminta, supaya PLN mengganti PLTU dengan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG).
"Pekan lalu sudah diserahkan, tapi ada yang tidak cocok. Terkait dengan PLTU salah satunya di Papua. Pak menteri (Ignasius Jonan), meminta supaya di Papua menggunakan PLTG," terang Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Allihudin Sitompul, kepada KONTAN, Jumat (10/3).
Seperti diketahui, kata Allihudi, sumber gas yang ada di Papua melimpah. Khususnya, milik British Petroleum (BP) Indonesia di Kilang tangguh Train III. Sementara untuk pembangkit berbasis batubara akan membutuhkan biaya pengangkutan yang mahal.
"Dengan melimpahnya sumber gas yang disana kan bisa mendukung jalannya pembangunan PLTG supaya pasokan gasnya juga tidak membutuhkan waktu dan harga yang mahal. Sementara batubara sumbernya jauh-jauh. Pak menteri minta PLN mendorong gas di Papua sana," tandasnya. Sementera untuk revisi yang lain, kata Allihudin, tidak ada masalah.
Kepala Satuan Unit Komunikasi Korporat PLN, I Made Suprateka mengamini hal tersebut, bahwa PLTU yang ada di Papua harus diganti dengan PLTG. Itu karena sumber batubara hanya bisa diambil dari Sumatra. Sedangkan untuk gas sudah tersedia dari Train III.
"Sebenarnya PLTU disana baru satu, jadi memang kalau diganti ya tidak masalah. Karena juga kan suplai gasnya juga ada. Akan lebih hemat ongkosnya," urainya kepada KONTAN, Jumat (10/3).
Sejauh ini, kata Made, dalam Revisi RUPTL yang diajukan kemarin tidak ada yang harus dirubah kecuali PLTG tadi. Untuk tarif listrik berbasis pembangkit listrik tenaga uap baik mulut tambang maupun nonmulut tambang yang mengacu pada biaya pokok produksi listrik (BPP) PLN pun tidak jadi soal.
"Idealnya kan begitu, kalau bisa semua pembangkit di depan ada tambang supaya harganya murah," tandasnya.
Skema itu, kata Made, sudah berlaku pada harga jual listrik untuk energi baru terbarukan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 12 Tahun 2017. Berdasarkan permen tersebut, tarif listrik dari pembangkit EBT ditetapkan maksimal 85% dari BPP PLN di masing-masing wilayah.
Ia mengatakan skema semacam ini juga segera diterapkan pada pembangkit berbasis batubara. "Tujuannya adalah mendapat harga keekonomian, yang mana tarif listrik tidak lagi bergantung pada biaya ditambah margin (cost plus margin) seperti yang berlaku sebelumnya," tandasnya.
Sebelumnya, Direktur Utama PLN, Sofyan Basir mengatakan akan memajukan penyelesaian pembangunan transmisi listrik 500 kilovolt (kv) di seluruh Sumatra sepanjang 1.400 km, dari sebelumnya selesai tahun 2019 menjadi akhir 2018. Kepastian pembangunan itu masuk ke dalam RUPTL 2017-2026. Juga, penunjukan langsung pembangunan PLTU mulut tambang. Serta perubahan jumlah PLTU Mulut Tambang di Sumatra dan Kalimantan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News