Reporter: Tane Hadiyantono | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Produktivitas tanaman padi dinilai masih belum seimbang dengan luas lahan tertanam. Belum maksimalnya produktivitas tanaman padi juga ditunjukkan dengan adanya disparitas antara kenaikan luas lahan panen, produksi dan produktivitas tanaman padi.
Mengutip data yang dihimpun oleh Asbenindo, pada tahun 2017, tercatat luas panen padi sebesar 15,70 juta hektare (ha). Luas tanaman padi tahun 2017 naik 3,57% dibandingkan tahun 2016. Sedangkan produksi gabah pada tahun 2017 hanya naik 2,2% menjadi 81,07 juta ton GKG. Data menunjukkan produktivitas masih dalam kondisi minus 1,4% menjadi 5,16 ton/ha.
Tak melulu soal kuantitas lahan, ketahanan pangan Indonesia dinilai terancam bila pemerintah tidak memperhatikan kualitas lahan dan tidak melakukan upaya untuk keberlanjutan lahan sawah.
Perbaikan lahan dan penyusunan badan koperasi korporasi tanaman pangan diusulkan menjadi solusi.
Berdasarkan data yang dihimpun Senior Expatriate Technological Cooperation Asia Pacific Food Agriculture Organization (FAO) Ratno Soetjiptadie, 69% dari tanah Indonesia berada dalam kategori parah. Ini terlihat dari gejala yang sering ia temui di lapangan, di mana kualitas padi yang ditanam tidak sesuai dengan usaha yang telah dikeluarkan petani.
Menurutnya, petani padi Indonesia masih cenderung awam terhadap pemeliharaan lahan sawah, di mana petani umumnya secara berulang terus memberikan pupuk dengan kuantitas yang sama di setiap masa tanam. Padahal, lahan memiliki satu titik waktu tertentu dimana tanahnya tidak akan merespon pada zat kimia dari pupuk tersebut.
"Jadi kalau padi dicabut tidak ada akarnya, itu disebut pesticides toxity. Sawah yang hanya berisi daun saja," kata Ratno, Senin (9/7). Oleh karena itu, dia menyatakan pemerintah seharusnya mulai aktif melakukan upaya untuk memperbaiki kualitas tanah.
Tak hanya dari sisi lahan, tata kelola air berupa memastikan cadangan air di waduk dan sumber hulu air juga harus dipastikan siap menghadapi musim kemarau. Bila solusi tersebut kurang mencukupi, program deep well alias sumur resapan dalam bisa diperbanyak.
Koperasi petani
Kemudian dari sisi petani, Ratno menyarankan adanya upaya untuk menggerakkan sektor koperasi petani menjadi layaknya korporasi.
"Kalau di Australia produksi pangan diberikan pada korporasi koperasi. Nah kenapa kita bisa ekspor sawit, karena yang kelola korporasi, kenapa kita tidak bisa terapkan ke pangan dan benih?" kata Ratno.
Menurutnya, bila pemerintah ingin melakukan gebrakan untuk membangun industri pangan, maka dengan nilai investasi sebesar Rp 15 - Rp 20 triliun selayaknya bisa digelontorkan untuk membangun perusahaan setara PT Perkebunan Nusantara (PTPN) namun khusus untuk tanaman pangan.
Ratno menekankan, bila pemerintah dan masyarakat menanggap petani sebagai kunci dari ketahanan pangan, maka target swasembada pangan tidak akan terjadi. Pasalnya, dibutuhkan dukungan dan arahan layaknya bisnis untuk memajukan sektor tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News