Sumber: Kompas.com | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Dibangun sejak 2013 pabrik pengolahan dan pemurnian bauksit PT Well Harvest Winning Alumina Refinary (WHW) kini telah mencapai perkembangan 48,08%. PT WHW mengharapkan dukungan dari pemerintah untuk kelanjutan pembangunan smelter ini, sebagai bentuk komitmen terhadap investor atas cita-cita hilirisasi mineral tambang di Indonesia.
PT Well Harvest Winning Alumina Refinary yang didirikan pada tahun 2012 merupakan usaha patungan antara China Hongqiao Group Ltd (55%), PT Cita Mineral Investindo Tbk (30%), Winning Investment (HK/10%), serta Shandong Weiqiao Alumunium Electricity Co Ltd. (5%).
PT Cita Mineral Investindo Tbk (CITA) sendiri merupakan induk dari PT Harita Prima Abadi Mineral.
Direktur Utama Harita Erry Sofyan menerangkan, investasi yang dibutuhkan untuk membangun smelter berkapasitas produksi 4 juta ton per tahun ini mencapai sekitar US$ 2,28 miliar, atau setara Rp 29,64 triliun (kurs Rp 13.000). Direncanakan, pada tahap pertama smelter ini, yang terdiri dari dua line, bisa mencapai kapasitas produksi 2 juta ton per tahun smelter grade alumina (SGA).
“Investasi untuk tahap I sebesar US$ 1,1 miliar, tahap II juga sekitar US$ 1,1 miliar,” kata Erry, kepada Kompas.com pekan lalu, Jakarta.
Adapun investasi pada tahap I diperuntukkan pembangunan pabrik (78,62% dari investasi), pelabuhan (8,03%), serta pembangkit listrik (13,35%).
Erry mengatakan, investasi yang dibenamkan WHW untuk smelter yang berlokasi di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat itu tidak terpaut jauh dari rencana investasi yang kabarnya akan dikeluarkan PT Freeport Indonesia untuk membangun smelter.
“Freeport US$ 2,5 miliar, kami US$ 2,28 miliar. Jadi kita sama-sama besar seperti Freeport investasinya. Tapi belum ada progress, Freeport diberikan kebebasan ekspor. Kita tidak diberi,” sebut Erry.
Hingga 30 April 2015, total investasi yang sudah dikeluarkan WHW sebesar US$ 391,91 juta atau sekitar Rp 5,1 triliun. Erry mengatakan, investasi smelter yang fantastis ini mau tak mau mengharuskan pengusaha nasional untuk menggandeng mitra potensial dan kuat dari segi finansial.
Selain itu, pendanaan juga tentu saja tidak hanya bersumber dari internal perusahaan melainkan dari kreditor. Sayang, sejak pelarangan ekspor mineral mentah (ore) 12 Januari 2014 silam, praktis tidak ada kegiatan produksi dan pemasukan dari ekspor. Sebanyak 12 juta ton bauksit tidak bisa dikirim keluar.
Erry menaksir akibat pelarangan ekspor ore tersebut pemasukan yang hilang mencapai US$ 420 juta per tahun, atau setara Rp 5,46 triliun. Jelas, kata Erry, kondisi ini memengaruhi kepercayaan kreditor untuk memberikan pinjaman, untuk penyelesaian proyek smelter.
“Makanya kami minta kepada pemerintah, insentif bagi perusahaan nasional yang membangun smelter. Insentifnya, ya bagaimana supaya usaha pertambangannya jalan, kan income-nya dari situ. Hidupnya perusahaan kan dari adanya kegiatan pertambangan,” jelas Erry.
Kendati meminta dibukanya kembali ekspor mentah bauksit, Erry menegaskan pemerintah tidak perlu khawatir. Pasalnya pemerintah bisa memberikan insentif secara spesifik bagi perusahaan-perusahaan pemegang konsesi yang benar-benar membangun dan menunjukkan perkembangan smelter.
Di samping itu, pemerintah juga dipersilakan melakukan pengawasan rutin. Erry mengatakan, WHW sendiri bahkan tidak berkeberatan jika diminta untuk memberikan laporan perkembangan tiap bulan.
Untuk diketahui, selain WHW, satu smelter bauksit yang terus dalam proses penyelesaian yakni smelter PT Bintan Alumina Indonesia. Smelter bauksit berkapasitas produksi 2 juta SGA tersebut saat ini sudah mencapai progress pembangunan 20%. Smelter yang didirikan di Provinsi Kepulauan Riau ini memakan biaya investasi mencapai US$ 1 miliar, atau sekitar Rp 13 triliun. (Estu Suryowati)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News