Reporter: Leni Wandira | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) mengutarakan kekhawatirannya terhadap kondisi industri rokok nasional yang tengah menghadapi tantangan berat akibat penurunan daya beli masyarakat serta regulasi ketat dari pemerintah, salah satunya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
PP ini menambah beban operasional bagi industri tembakau nasional dengan sejumlah regulasi yang dinilai memberatkan, khususnya terkait pengamanan zat adiktif dalam bagian 21 aturan tersebut.
Menurut Sekjen Gappri melalui Willem Petrus Riwu penurunan daya beli masyarakat telah berdampak langsung pada penjualan rokok nasional.
"Masyarakat kini lebih banyak beralih ke rokok ilegal yang harganya jauh lebih murah," ujar Willem kepada KONTAN, Kamis (30/10).
Situasi ini tidak hanya merugikan industri resmi tetapi juga berdampak buruk pada kesehatan masyarakat karena rokok ilegal tidak terjamin kualitas dan keamanannya.
Baca Juga: Kinerja Emiten Tembakau Merosot, Gaprindo Beberkan Penyebabnya
Gappri juga melihat adanya pergeseran konsumsi dari rokok berharga tinggi ke rokok yang lebih terjangkau. Willem menyebut bahwa kondisi ini semakin diperparah oleh kebijakan pemerintah yang secara bertahap menaikkan harga jual eceran (HJE) dan pajak pertambahan nilai (PPN) pada produk rokok.
"Langkah ini malah menggerus omzet rokok legal dan membuka peluang lebih besar bagi rokok ilegal untuk menguasai pasar. Sayangnya, penegakan hukum terhadap rokok ilegal belum maksimal," tambahnya.
Lebih lanjut, Willem menyoroti adanya pengaruh kuat dari kebijakan internasional yang menurutnya turut mencampuri regulasi nasional.
"PP 28 terutama bagian 21 terkait pengamanan zat adiktif, terlihat sangat dipengaruhi oleh kepentingan kelompok anti-tembakau dan intervensi asing melalui FCTC-WHO. Dengan adanya pembatasan nikotin dan tar, budaya kretek dan kedaulatan aturan nasional semakin terancam," tegas Willem.
Gappri menilai bahwa kebijakan pemerintah yang semakin ketat ini seolah mendorong industri rokok untuk kalah bersaing dengan produk substitusi, seperti rokok elektrik dan produk farmasi alternatif.
Baca Juga: APTI Desak Pemerintah Batalkan Rencana Penyeragaman Kemasan Rokok
Berdasarkan laporan keuangan dari keterbukaan informasi BEI, HMSP mencatatkan laba sebesar Rp 5,22 triliun per September 2024, turun 15,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp 6,20 triliun. Meskipun penjualan bersih meningkat sebesar 1,34% dari Rp 87,29 triliun menjadi Rp 88,46 triliun, kenaikan beban pokok penjualan hingga Rp 74,70 triliun turut menekan laba perusahaan.
Situasi serupa juga dialami Gudang Garam, yang mencatatkan penurunan laba bersih hingga 77,74% secara tahunan, dari Rp 4,46 triliun menjadi Rp 992,20 miliar pada triwulan ketiga 2024. Penurunan ini utamanya disebabkan oleh anjloknya pendapatan perusahaan sebesar 9,61%, dari Rp 81,75 triliun menjadi Rp 73,89 triliun.
Sementara itu, Wismilak Inti Makmur juga membukukan penurunan laba bersih secara tahunan menjadi Rp 270,54 miliar dari Rp 141,78 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Penurunan laba WIIM ini turut didorong oleh turunnya pendapatan sebesar Rp 3,43 triliun dari posisi sebelumnya yang mencapai Rp 3,71 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News