kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.567.000   7.000   0,45%
  • USD/IDR 15.703   0,00   0,00%
  • IDX 7.574   4,17   0,06%
  • KOMPAS100 1.170   -1,95   -0,17%
  • LQ45 921   -3,22   -0,35%
  • ISSI 231   0,26   0,11%
  • IDX30 474   -2,28   -0,48%
  • IDXHIDIV20 568   -1,28   -0,23%
  • IDX80 133   -0,19   -0,14%
  • IDXV30 141   0,91   0,65%
  • IDXQ30 158   -0,72   -0,45%

Gappri Sebut Penurunan Daya Beli Dorong Lonjakan Rokok Ilegal


Kamis, 31 Oktober 2024 / 19:00 WIB
Gappri Sebut Penurunan Daya Beli Dorong Lonjakan Rokok Ilegal
ILUSTRASI. Pekerja menunjukkan rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) di salah satu pabrik rokok di Kudus, Jawa Tengah, Kamis (4/1/2024). Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok dengan kenaikan rata-rata 10 persen mulai 1 Januari 2024. ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/aww. Gappri merasa khawatir terhadap kondisi industri rokok nasional yang tengah menghadapi tantangan berat akibat penurunan daya beli masyarakat


Reporter: Leni Wandira | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) mengutarakan kekhawatirannya terhadap kondisi industri rokok nasional yang tengah menghadapi tantangan berat akibat penurunan daya beli masyarakat serta regulasi ketat dari pemerintah, salah satunya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024. PP ini menambah beban operasional bagi industri tembakau nasional dengan sejumlah regulasi yang dinilai memberatkan, khususnya terkait pengamanan zat adiktif dalam bagian 21 aturan tersebut.

Menurut Sekjen Gappri melalui Willem Petrus Riwu penurunan daya beli masyarakat telah berdampak langsung pada penjualan rokok nasional. "Masyarakat kini lebih banyak beralih ke rokok ilegal yang harganya jauh lebih murah karena tidak dikenakan cukai atau pajak," ujar Willem kepada KONTAN, Kamis (30/10).

Menurutnya, persentase rokok ilegal yang menguasai pasar kini mencapai hampir 50%, berdasarkan data yang dihimpun dari Lembaga Indo Data. Situasi ini tidak hanya merugikan industri resmi tetapi juga berdampak buruk pada kesehatan masyarakat karena rokok ilegal tidak terjamin kualitas dan keamanannya.

Baca Juga: Kinerja Emiten Tembakau Merosot, Gaprindo Beberkan Penyebabnya

Gappri juga melihat adanya pergeseran konsumsi dari rokok berharga tinggi ke rokok yang lebih terjangkau. Willem menyebut bahwa kondisi ini semakin diperparah oleh kebijakan pemerintah yang secara bertahap menaikkan harga jual eceran (HJE) dan pajak pertambahan nilai (PPN) pada produk rokok. 

"Langkah ini malah menggerus omzet rokok legal dan membuka peluang lebih besar bagi rokok ilegal untuk menguasai pasar. Sayangnya, penegakan hukum terhadap rokok ilegal belum maksimal," tambahnya.

Lebih lanjut, Willem menyoroti adanya pengaruh kuat dari kebijakan internasional yang menurutnya turut mencampuri regulasi nasional. "PP 28 terutama bagian 21 terkait pengamanan zat adiktif, terlihat sangat dipengaruhi oleh kepentingan kelompok anti-tembakau dan intervensi asing melalui FCTC-WHO. Dengan adanya pembatasan nikotin dan tar, budaya kretek dan kedaulatan aturan nasional semakin terancam," tegas Willem.

Gappri menilai bahwa kebijakan pemerintah yang semakin ketat ini seolah mendorong industri rokok untuk kalah bersaing dengan produk substitusi, seperti rokok elektrik dan produk farmasi alternatif. "Bea dan Cukai, misalnya, tampak terus menaikkan HJE tanpa memperhitungkan efeknya terhadap rokok lokal, yang justru membuat rokok elektrik dan produk-produk asing semakin kompetitif," pumgkasnya.

Baca Juga: APTI Desak Pemerintah Batalkan Rencana Penyeragaman Kemasan Rokok

Berdasarkan laporan keuangan dari keterbukaan informasi BEI, HMSP mencatatkan laba sebesar Rp 5,22 triliun per September 2024, turun 15,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp 6,20 triliun. Meskipun penjualan bersih meningkat sebesar 1,34% dari Rp 87,29 triliun menjadi Rp 88,46 triliun, kenaikan beban pokok penjualan hingga Rp 74,70 triliun turut menekan laba perusahaan.

Situasi serupa juga dialami Gudang Garam, yang mencatatkan penurunan laba bersih hingga 77,74% secara tahunan, dari Rp 4,46 triliun menjadi Rp 992,20 miliar pada triwulan ketiga 2024. Penurunan ini utamanya disebabkan oleh anjloknya pendapatan perusahaan sebesar 9,61%, dari Rp 81,75 triliun menjadi Rp 73,89 triliun.

Sementara itu, Wismilak Inti Makmur juga membukukan penurunan laba bersih secara tahunan menjadi Rp 270,54 miliar dari Rp 141,78 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Penurunan laba WIIM ini turut didorong oleh turunnya pendapatan sebesar Rp 3,43 triliun dari posisi sebelumnya yang mencapai Rp 3,71 triliun.

Selanjutnya: Pengusaha Minta Insentif Pajak untuk Karyawan, Kemenkeu: Perlu Melihat Hasil Evaluasi

Menarik Dibaca: Hujan Petir Landa Daerah Ini, Cek Prakiraan Cuaca Besok (1/11) di Jawa Barat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×