Reporter: Amailia Putri Hasniawati |
JAKARTA. Juru Kampanye Green Peace Joko Arif datang menemui para petinggi Kementerian Pertanian (Kementan), diantaranya Menteri Pertanian Suswono, Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi, dan Direktur Jenderal Perkebunan Kementan Achmad Mangga Barani.
Dua hal utama yang disampaikan Green Peace terkait pelanggaran yang dilakukan perusahaan-perusahaan sawit besar, termasuk Sinar Mas.
“SMART membuka hutan tanpa AMDAL, tidak ada ijin pemanfaatan kayu (sawit), di Papua mereka membuka lahan di hutan sagu,” paparnya. Hal itu dinilai mempengaruhi ekosistem kehidupan di dalam negeri. Sementara secara global, hal tersebut membawa dampak terhadap perubahan iklim karena menghasilkan emisi gas rumah kaca.
Ekspansi bisnis sawit SMART juga menjadi salah satu kekhawatiran dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pemerhati lingkungan tersebut. Saat ini total lahan sawit SMART mencapai 400.000 hektar, namun rencananya salah satu anak grup raksasa penghasil pulp&papper tersebut akan memperluas lahan sawitnya menjadi 1 juta hektar. Dus, deforestasi tak bisa dihindari.
Penggunaan lahan gambut untuk tanaman sawit di Indonesia masih diperbolehkan jika kedalamannya kurang dari 3 meter. Namun, menurut Joko, konsesi yang disepakati melalui Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) --dimana SMART menjadi salah satu anggota yang tergabung di dalamnya-- disepakati untuk memproteksi lahan gambut sebagai salah satu langkah untuk mengurangi efek gas rumah kaca.
Peringatan tersebut sebenarnya sudah disampaikan sejak November 2008 lalu ketika ada pertemuan RSPO di Bali. Imbauan yang sama ditegaskan kembali sebulan sesudahnya. Sayangnya, hal itu tidak digubris.
“Kami khawatir, Sinar Mas ini kan tidak hanya produsen sawit, tetapi juga produsen Pulp&Papper terbesar ke dua di dunia, jika tidak diindahkan, maka hutan kita terancam rusak,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News