Sumber: Kompas.com | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia–Indonesian Coal Mining Association (APBI-ICMA) menyatakan, apabila harga batubara tetap rendah seperti saat ini, maka program kelistrikan 35.000 megawatt (MW) bakal terancam.
"Kelebihan pasokan batubara yang terjadi sejak 2012 akibat stagnasi permintaan telah membuat harga batubara anjlok," kata Ketua Umum APBI-ICMA Pandu P Sjahrir di Jakarta, Senin (7/3/2016).
Akibat hal tersebut, penurunan margin profitabilitas secara drastis terjadi sejak 2012, yang diikuti dengan pengurangan produksi.
Padahal, di sisi lain, proyek kelistrikan yang bersifat jangka panjang memerlukan jaminan ketersediaan pasokan batubara yang cukup.
Hasil survei yang dilakukan lembaga konsultan PricewaterhouseCoopers (PwC) terhadap 25 perusahaan batubara menunjukkan adanya keterkaitan antara penurunan harga batubara dan proyek kelistrikan 35.000 MW, utamanya untuk jaminan pasokan.
"Hasil survei mengindikasikan kemungkinan (bahwa) cadangan batubara nasional dengan mengacu pada harga komoditas saat ini tidak cukup untuk memasok 20.000 MW pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) program 35.000 MW selama masa 25 tahun hingga 30 tahun (rata-rata usia pembangkit berbasis batubara)," kata dia.
Pandu lebih lanjut menjelaskan, penurunan cadangan batubara yang dimaksud bukan berarti tidak adanya batubara di perut bumi.
Penurunan terjadi karena harga batubara yang tidak ekonomis untuk ditambang. Oleh karena itu, cadangan yang seharusnya bisa diambil tersebut tetap hanya menjadi sumber daya di perut bumi.
"Untuk menambang itu kan diperlukan biaya. Kalau harga batubara 50 dollar, sementara biaya menambangnya 60 dollar, otomatis batubara itu tidak ditambang. (Jadi) seolah-olah ada pengurangan cadangan."
"Namun, pada saat harga batubara naik lagi, menjadi 100 dollar, itu menjadi feasible untuk ditambang," kata Pandu. (Penulis: Estu Suryowati)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News