Reporter: Noverius Laoli | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Sejak dua tahun terakhir, harga karet terus mengalami penurunan hingga ke level terendah. Pada bulan Desember ini, harga karet menyentuh titik terendah dalam 10 tahun terakhir dengan harga US$ 1,14 per kilogram (kg).
Sementara harga karet di tingkat petani jatuh ke titik nadir menjadi Rp 4.500 per kg - Rp 5.000 per kg. Padahal ongkos produksi karet sebenarnya sebesar Rp 10.000 per kg ke atas.
Sebagai perbandingan, bila tahun 2011-2012 lalu, petani karet bisa membeli beras 2 kg dari 1 kg karet, saat ini, 2 kg beras baru bisa dibeli dengan 4 kg - 5 kg karet.
Tak lagi bisa menopang ekonomi sehari-hari, petani karet di Sibolga Sumatera Utara akhirnya meninggalkan pekerjaan itu setelah harga karet tertahan di level terendah selama tiga bulan terakhir.
"Buat apa kami menyadap karet, sudah seharian menyadap tapi hasilnya tidak cukup untuk membeli beras kebutuhan sehari-hari," ujar salah seorang petani karet bernama Aponius.
Sebagian besar orang akhirnya memilih meninggalkan kampung halaman mereka masing-masing dan bekerja serabutan ke daerah lain. Bekerja serabutan memang bukan pilihan, tapi dinilai hasilnya masih bisa diharapkan untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari ketimbang menyadapat karet.
Sebagai contoh, saat ini kebun karet milik petani sudah berusia uzur sektiar 25 tahun lebih, padahal usia ideal karet yang produktif sebenarnya paling tua 15 tahun sudah harus diganti dengan tanaman baru.
Tapi karena petani tidak memiliki pilihan lain, mereka tetap saja menyadap karet yang usianya sudah tua tersebut. Hal itu dibenarkan Anggota Dewan Penasihat Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Martinus, S. Sinarya.
Ia bilang, tidak masalah harga karet jatuh asalkan produktivitas karet itu tinggi. Masalahnya di Indonesia, produktivitas karet petani sangat rendah yakni sekitar 1 ton per hektare per tahun, kalah dibandingkan Malaysia sebesar 1,3 ton per hektare per tahun dan Thailand yang sudah mencapai 1,9 ton per hektare per tahun.
"Di Vietnam atau pun di Thailand petani karet tidak terlalu kesulitan ketika harga jatuh karena produktivitas mereka tinggi," ujarnya.
Karena itu, sudah seharusnya pemerintah memberikan perhatian serius mengurus perkebunan karet. Pasalnya dari sekitar 3,4 juta ha lahan karet di Indonesia sebesar 85% adalah perkebunan rakyat.
Meskipun sangat luas, produktivitasnya kalah dibandingkan negara lain yang perkebunan karetnya lebih kecil dari Indonesia. Bila hal ini dibiarkan terus, bukan mustahil suatu saat, Indonesia tidak lagi menjadi negara penghasil karet, malah bisa jadi importir karet.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Moenardji Soedargo mengatakan harga karet sekarang sudah berada di titik yang paling mengkhawatirkan. Bila pemerintah tidak segera mengambil tindakan nyata, maka penurunan harga karet tidak dapat dibendung lagi.
Karena itu, Gapkindo mendesak pemerintah segera meningkatkan penyerapan karet dalam negeri. "Kami meminta inisiasi dari pemerintah untuk mengembangkan penyerapan karet alam dalam penggunaan di proyek-proyek infrastruktur yang tengah dikembangkan saat ini," ujar Moenardji
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News