Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Harga Patokan Ekspor (HPE) di hampir semua komoditas mineral pada bulan Juli ini mengalami penurunan. Penurunan tersebut dipatok dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 49 Tahun 2019 yang mengatur tentang penetapan HPE atas produk pertambangan yang dikenakan bea keluar periode 1 Juli-31 Juli 2019.
Penurunan terjadi di hampir seluruh komoditas dan jenis kadar kandungannya. Tak terkecuali pada lima jenis komoditas mineral andalan ekspor Indonesia, yakni konsentrat tembaga, timbal, seng, nikel dan bauksit.
Pada konsentrat tembaga dengan kadar Cu 15%-16% dan kadar emas 0 ppm-5 ppm misalnya, HPE bulan Juli turun 5,21% dibanding bulan sebelumnya, menjadi US$ 840,19 per Weight Equivalent (WE). Penurunan juga terjadi pada komoditas Nikel. Dengan kadar di bawah 1%, HPE Juli turun 1,87% menjadi US$ 9,40 per WE.
Begitu pun pada nikel kadar 1,6%-1,7%, HPE Juli dipatok US$ 26,16 per WE atau turun 1,87% dibandingkan bulan sebelumnya. HPE pada komoditas bauksit pun menurun. HPE bauksit yang telah dilakukan pencucian (washed bauxite) dengan kadar 42%-43% pada bulan Juli turun 3,77% menjadi US$ 17,35 per WE, begitu pun dengan sejumlah kadar lainnya.
Tak jauh beda, penurunan HPE juga terjadi pada komoditas timbal dan seng. Pada konsentrat timbal dengan kadar 56%-57%, HPE Juli mengalami penurunan 0,84% menjadi US$ 599,61 per WE. Begitu pun HPE bulan Juli dari konsentrat seng dengan kadar 51%-52%, yang turun 12,5% menjadi US$ 596,95 per WE. Penurunan juga terjadi di hampir seluruh kadar pada timbal dan seng.
Adapun, penetapan HPE ini didasarkan pada harga rata-rata tertinggi pada bursa internasional, harga rata-rata tertinggi Free on Board (FoB), harga rata-rata tertinggi di pasar dalam negeri, atau harga-rata-rata tertinggi di negara pengimpor produk pertambangan, dalam satu bulan terakhir.
Kendati demikian, sejumlah pelaku usaha masih optimistis dalam memandang paruh kedua tahun ini. Seperti yang ditunjukkan oleh PT Kapuas Prima Coal Tbk. (ZINC), salah satu pelaku usaha berskala jumbo dalam komoditas seng dan timbal di tanah air.
Menurut Direktur Keuangan ZINC, Hendra William, HPE maupun Harga Patokan Mineral (HPM) tidak akan berdampak signifikan. Hal itu lantaran harga jual yang digunakan ZINC mengacu pada harga pasar yang selama ini selalu lebih tinggi dibandingkan harga patokan.
Oleh sebab itu, Hendra yakin bahwa pada Semester II ini, kinerja ZINC dapat berjalan secara positif. "Kita berupaya mendorong kinerja perseroan dari segi produksi yang tentunya membutuhkan sinergi dari segi penambangan hingga pabrik produksi konsentratnya," kata Hendra kepada Kontan.co.id, Rabu (3/7).
Adapun, dari Januari hingga Mei, produksi ZINC tercatat sebesar 150.395 ton ore dari total target produksi 450.000 ton ore pada 2019. Dari jumlah itu, ZINC memproduksi 7.528 ton timbal (Pb) dan 23.729 ton seng (Zn).
"Di Semester II ini kami harapkan bisa terus meningkatkan utilisasi dari pabrik flotasi kedua, sehingga target untuk tahun 2019 dapat tercapai," Jelas Hendra.
Hendra memprediksi, harga di Semester II cenderung akan berada di level yang stabil. "Dari segi faktor harga pasaran untuk timbal dan zinc kami melihat masih akan bertahan stabil," imbuhnya.
Optimisme juga menaungi PT Cita Mineral Investindo Tbk (CITA). Pemain kelas jumbo di komoditas bauksit ini bahkan mematok pertumbuhan produksi hingga dua kali lipat dibandingkan tahun lalu.
Pada tahun ini, CITA menargetkan bisa memproduksi Metallurgical Grade Bauxite (MGB) hingga 9 juta ton. Jumlah itu nyaris dua kali lipat dari realisasi produksi tahun lalu yang berada di angka 4,6 juta ton.
Direktur CITA Yusak Lumba Pardede mengatakan, selain karena kinerja operasional yang semakin membaik, kenaikan target tersebut juga beriringan dengan pertumbuhan bisnis pada komoditas bauksit dan produk turunannya yang diproyeksikan positif.
Adapun, untuk realisasi produksi, Yusak mengatakan bahwa hingga Kuartal I CITA sudah memproduksi 1,9 juta ton MGB. "Kalau sampai dengan April sudah 2,7 juta ton," jelasnya.
Melalui entitas anak usahanya, PT Well Harvest Winning Alumina Refinery (WHW), CITA bahkan berencana membangun fasilitas pengolahan Smelter Grade Alumina (SGA) tahap dua dengan kapasitas produksi 1 juta ton SGA per tahun.
Pengembangan smelter tahap II ini rencananya sudah bisa konstruksi pada penghujung tahun ini, dan sudah mulai bisa beroperasi pada Januari 2021.
Dengan begitu, ekspor MGB milik CITA bisa berkurang karena semakin banyak yang diolah di dalam negeri untuk menjadi SGA. Smelter tersebut nantinya akan menambah pabrik pengolahan bauksit dalam negeri yang tercatat baru ada dua hingga tahun lalu.
Lain halnya dengan bauksit, komoditas nikel sudah memiliki banyak pengolahan dalam negeri. Hingga tahun lalu, dari total 20 smelter eksisting berdasarkan izin Kementerian ESDM, 13 diantaranya adalah smelter nikel.
Alhasil, tak heran rasio serapan komoditas nikel yang bisa dijual dan diolah di dalam negeri lebih tinggi ketimbang komoditas lainnya. Karena itu, menurut Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin, penurunan HPE untuk para penambang nikel tidak berpengaruh signifikan. "HPE untuk para penambang tidak berpengaruh, harga tetap sama untuk kontrak dengan smelter lokal," ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News