Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lonjakan harga minyak dunia berpotensi mengerek harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri.
Harga minyak mentah global melesat seiring eskalasi konflik antara Iran dan Israel yang meningkatkan kekhawatiran pasar terhadap gangguan pasokan energi global.
Mengutip Reuters, Rabu (18/6), harga minyak mentah Brent naik 4,4% ke level US$76,45 per barel. Sementara West Texas Intermediate (WTI) menguat 4,28% ke posisi US$ 74,84 per barel.
PT Pertamina (Persero) menyatakan siap mengevaluasi harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi secara berkala, di tengah meningkatnya tensi geopolitik di Timur Tengah yang berpotensi mendorong harga minyak mentah dunia melonjak.
Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso mengatakan, untuk harga BBM nonsubsidi melalui Pertamina Patra Niaga secara berkala melakukan review berdasarkan beberapa hal antara lain harga minyak mentah dan kurs.
Baca Juga: Pertamina Pastikan Pasokan Minyak Aman di Tengah Konflik Iran-Israel
"Penyesuaian harga biasanya di awal setiap bulan," kata Fadjar kepada Kontan, Rabu (18/6).
Fadjar menjelaskan, penyesuaian harga BBM nonsubsidi tetap mengacu pada mekanisme yang berlaku, dengan mempertimbangkan sejumlah variabel seperti harga minyak mentah dunia, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, serta komponen perpajakan.
Fadjar menegaskan, di tengah ketidakpastian global akibat konflik antara Iran dan Israel, Pertamina memastikan pasokan energi nasional dalam kondisi aman.
Lebih lanjut, Pertamina juga telah menyiapkan sejumlah langkah mitigasi, mulai dari pemantauan ketat terhadap situasi global, pengalihan rute pelayaran, hingga diversifikasi sumber pasokan. Salah satu opsi yang tengah dijajaki adalah melanjutkan impor minyak dari Rusia.
“Kita membuka peluang impor dari berbagai negara. Kilang Pertamina sebelumnya juga pernah mengimpor minyak dari Rusia melalui skema tender,” terang Fadjar.
Adapun, Pertamina memastikan pasokan minyak mentah ke Indonesia tetap aman di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah, khususnya konflik Iran-Israel.
"Jika memang terjadi eskalasi konflik yang dapat mengganggu jalur distribusi atau jalur pelayaran kapal-kapal kami, kami sudah menyiapkan skenario alternatif, rute alternatif melalui beberapa titik yang kita harapkan tidak mengganggu pasokan minyak dari Timur Tengah dan sekitarnya ke Indonesia," tandas Fadjar.
Di sisi lain, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan, sebagai net-importer, kenaikan harga minyak dunia sudah pasti akan berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia.
“Kalau eskalasi konflik Israil-Iran meluas, tidak bisa dihindari harga minyak dunia akan melambung, bahkan diperkirakan bisa mencapai di atas US$ 100 per barrel,” kata Fahmy kepada Kontan, Rabu (18/6).
Bahkan, lanjut Fahmy, JP Morgan memperkirakan harga minyak dunia bisa melonjak hingga US$ 130 per barel jika eskalasi perang meluas hingga Iran menutupSelat Hormuz, yang menjadi lalu lintas pengangkutan minyak dunia.
Baca Juga: Ketegangan Iran-Israel Meningkat, Picu Kenaikan Harga BBM Pertamina?
Dalam kondisi tersebut, Pemerintah dihadapkan pada dilema dalam penetapan harga BBM di dalam negeri.
“Kalau harga BBM subsidi tidak dinaikkan, beban APBN akan membengkak,” ujar Fahmy.
Di samping itu, kenaikan harga minyak dunia akan semakin menguras devisa untuk membiayai impor BBM. Ujung-ujungnya makin memperlemah kurs rupiah terhadap dolar AS, yang sempat menembus Rp 17.000 per dolar AS.
“Kalau harga BBM subsidi dinaikkan, sudah pasti akan memicu inflasi yang menyebabkan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok sehingga menurunkan daya beli rakyat dan pertumbuhan ekonomi,” ungkap Fahmy.
Menurut Fahmy, dalam kondisi ketidakpastian, Pemerintah jangan memberikan PHP (Pemberian Harapan Palsu) kepada rakyat yang dengan santai mengatakan bahwa perang Iran-Israel tidak mengganggu perekonomian Indonesia.
Pemerintah sebaiknya bersikap realistis dengan mengantisipasi penetapan harga BBM Subsidi berdasarkan indikator terukur.
“Kalau harga minyak dunia masih di bawah US$100 per barrel, harga BBM Subsidi tidak perlu dinaikkan,” tutur Fahmy.
Namun, sambung Fahmy, kalau harga minyak dunia mencapai di atas US$100 per barrel, Pemerintah tidak punya pilihan lain kecuali menaikkan harga BBM Subsidi, agar beban APBN untuk Subsidi tidak memberatkan.
Selanjutnya: Sri Mulyani Tegaskan Pajak RI Berdasar Konstitusi, Bukan Sekadar Efisiensi Pasar
Menarik Dibaca: Peringatan Dini Cuaca Besok 19-20 Juni, Siaga Hujan Sangat Lebat di Provinsi Ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News