kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Hingga kuartal-I 2019 Bara Jaya (ATPK) belum produksi batubara


Jumat, 14 Juni 2019 / 17:02 WIB
Hingga kuartal-I 2019 Bara Jaya (ATPK) belum produksi batubara


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kinerja PT Bara Jaya Internasional Tbk masih terkendala harga. Emiten berkode ATPK ini bahkan belum melakukan produksi dan penjualan batubara hingga Kuartal-I 2019.

Sekretaris Perusahaan ATPK Andreas Andy mengungkapkan, hal itu disebabkan kondisi harga batubara kalori rendah dengan CV 3.400 GAR yang dimiliki oleh ATPK masih terbilang sangat rendah, yakni berada pada kisaran US$ 19 per ton. Sementara, Andy mengungkapkan pihaknya baru akan melakukan produksi bila harga sudah berada di angka US$ 30 per ton.

"Karena ada resiko-resiko, jadi tidak maksimal. Kita harapkan kesepakatan harga bisa US$ 30 dulu," katanya kepada Kontan.co.id, Jum'at (14/6).

Andy menjelaskan, saat ini ATPK hanya mengandalkan penjualan dengan skema kontrak jangka pendek atau spot basis market. Alhasil, ATPK baru akan memproduksi batubara apabila sudah ada kontrak dan harga jual yang disetujui.

Karenanya, kata Andy, pihaknya mengaku kesulitan untuk mematok target produksi batubara pada tahun ini. "Kita belum ada (produksi) karena produksi menyesuaikan dengan spot basis market," terangnya.

Sebagai informasi, pada tahun lalu realisasi produksi ATPK berkisar di angka 96.000 ton, padahal kapasitas produksi ATPK mampu mencapai 250.000 ton batubara per tahun. Tapi, jumlah itu jauh lebih baik karena pada tahun 2017 ATPK hanya mampu memproduksi sebanyak 45.000 ton batubara.

Hanya saja, harga batubara pada tahun 2017 mencapai puncaknya hingga menyentuh angka US$ 32 per ton. Sedangkan pada tahun 2018 lalu berada dikisaran US$ 26-US$ 27 per ton.

Andy pun menceritakan, ATPK baru kembali aktif berproduksi pada tahun 2017. Sebab, pada tahun 2015-2016, ATPK non-aktif produksi karena harga yang tidak ekonomis. "Faktor yang paling dominan (penentu produksi) memang harga. Kita jualan juga dikendalikan harga," ungkapnya.

Andy pun berharap agar kondisi tersebut tidak berulang, sehingga pada tahun 2019 ini ATPK tetap bisa berproduksi. Meski belum tahu waktu pastinya, tapi Andy berharap ATPK sudah bisa kembali berproduksi di periode Semester II dengan volume produksi yang tidak lebih rendah dari tahun lalu.

"Belum tahu, tergatung dari kesepakatan yang dilakukan marketing. Kita harapkan sih bisa nggak turun (volume produksi)," tuturnya.

Sementara itu, untuk tujuan penjualan, ATPK belum berencana menyasar pasar baru. Andy mengatakan, pihaknya masih mengandalkan pasar India. Tanpa menyebut persentasenya, Andy menuturkan bahwa hampir seluruh penjualan diarahkan ke pasar India, selain satu kontrak penjualan di pasar domestik.

Lebih lanjut, Andy juga menjelaskan bahwa penjualan batubara masih menjadi satu-satunya tumpuan pendapatan ATPK. Sehingga, apabila pada paruh kedua tahun 2019 ini tidak ada kesepakatan kontrak di angka US$ 30 per ton, Andy bilang, manajemen ATPK akan mempertimbangkan jika harganya ada dalam rentang US$ 26 per ton, seperti tahun lalu. "Bisa saja (US$ 26-US$ 30), tergantung manajemen nanti menghitungnya," imbuh Andy.

Penjualan batubara masih menjadi satu-satunya andalan ATPK sebab bisnis penyewaan alat tambang masih belum terwujud. Andy menerangkan, dengan tidak optimalnya kapasitas produksi, banyak peralatan tambang ATPK yang tidak terpakai atau idle. Nah, tadinya ATPK ingin menyewakan peralatan yang idle tersebut sebagai alternatif pemasukan.

Namun, upaya tersebut belum terwujud karena ATPK tak memiliki dana untuk merekondisi peratalan tambang yang dimiliki. "Untuk bisa disewakan, peralatan perlu direkondisi terlebih dulu hingga posisi tertentu. Kendalanya kembali lagi, dana," ungkapnya.

Dana itu pula yang menghambat ATPK untuk bisa menjalankan rencana akuisis tambang. Sejak beberapa tahun lalu, ATPK sudah berencana mengakuisisi tambang batubara kalori tinggi di atas 5.000 GAR.

Menurut Andy, selain menambah cadangan, akuisisi itu dimaksudkan sebagai strategi bisnis lantaran batubara kalori tinggi memiliki margin yang lebih menguntungkan, serta cenderung bisa bertahan di tengah tren penurunan harga. "Ongkos produksinya relatif sama dengan kalori rendah. Tapi batubara kalori tinggi margin dan harganya stabil," terang Andy.

Sayang, Andy pun belum bisa memastikan besaran dana yang diperlukan dalam akuisisi ini, serta kapan rencana akuisis ini akan terwujud. Andy hanya menyebut, ATPK sebenarnya sudah memiliki lahan yang dilirik, yakni berlokasi di Kalimantan.

Andy menuturkan, untuk menjalakan berbagai rencana dan strategi bisnis, ATPK membutuhkan investor untuk bisa memperoleh pendanaan. Namun, hingga saat ini pihak ATPK masih melakukan kajian dan pembahasan soal strategi apa yang akan dipakai untuk dapat menggaet investor. "Skemanya gimana, so far belum ada yang bisa kami konfirmasi, Itu masih dibahas," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×