Reporter: Dani Prasetya | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Peningkatan transaksi perdagangan Indonesia-China menuai protes dari para pengusaha dalam negeri. Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) mengeluhkan membanjirnya produk asal China berimbas pada penurunan jumlah perusahaan berbasis manufaktur.
"Jumlah perusahaan manufaktur skala besar dan menengah terus menurun karena kalah bersaing. Mereka memiliki jadi pedagang karena lebih menguntungkan," tutur Ketua Umum HIPMI Erwin Aksa, pada siaran pers, Kamis (6/10).
Menurutnya, kondisi industri manufaktur Indonesia semakin terpuruk akibat pesatnya arus impor barang jadi dan barang modal ke Indonesia. Hal ini tergambarkan pada penurunan jumlah perusahaan manufaktur.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah perusahaan skala besar-menengah pada 2006 sebanyak 29.500 unit. Namun, kini angka itu melorot hingga 25.000 unit. Penurunan jumlah perusahaan itu terjadi lantaran pengusaha manufaktur lokal enggan menambah investasi baru.
Apalagi, kesepakatan Asean China Free Trade Agreement (ACFTA) meningkatkan arus barang-barang dari China. Terbukti defisit neraca perdagangan Indonesia-China makin melebar. Hingga Agustus 2011, total ekspor Indonesia ke China sebesar U4$ 12,8 miliar. Angka itu jauh lebih rendah ketimbang nilai impor yang mencapai US$ 16,3 miliar.
Menurutnya, banyak pengusaha muda yang tergabung dalam HIPMI kesulitan bersaing dengan produk-produk asal China. Selain masalah permodalan, pemerintah dianggap kurang memberikan perlindungan terhadap produk dalam negeri. Akibatnya, tak sedikit anggota HIPMI yang banting setir jadi distributor barang-barang impor. "Lihat saja pengusaha handphone, hampir semuanya pedagang, tidak ada yang menjadi produsen di dalam negeri," ujarnya.
Oleh karena itu, dia meminta, pemerintah dan perbankan memberikan kemudahan kebijakan yang kondusif terhadap dunia usaha. Jangan sampai dunia usaha domestik terpuruk lantaran terjegal kebijakan dalam negeri terutama soal suku bunga kredit.
Saat ini, sektor usaha kecil dan menengah (UKM) dibebani suku bunga pinjaman sebesar 20%. Tingkat suku bunga yang tinggi itu dianggap tidak sebanding dengan risiko yang harus dihadapi oleh para pengusaha. Idealnya, menurut Erwin, suku bunga kredit untuk UKM sebesar 10%-12%.
Selain soal permodalan, Erwin menyoroti soal kondisi infrastruktur dan pasokan energi yang belum memadai. Hal itu dinilai sebagai penghambat perkembangan industri manufaktur. Berdasarkan survei World Economic Forum (WEF) tentang The Global Competitiveness Report 2011-2012, Indonesia menduduki peringkat 82 dari 144 negara. Posisi itu kalah jauh dibanding Singapura yang menduduki peringkat dua dan Malaysia yang berada pada urutan 23.
Bahkan, WEF pun melansir daya saing pelabuhan Indonesia hanya berada pada posisi 103. Posisi itu kalah jauh dengan Singapura yang menduduki posisi puncak. Selain itu, pasokan energi tak kalah buruk. Banyak rencana ekspansi yang terpaksa tertunda lantaran ketidakpastian pasokan energi. "Kondisi infrastruktur yang buruk ini membuat beban biaya terus meningkat," tambahnya.
Dia mengharapkan, pemerintah segera merampungkan berbagai regulasi yang mendukung penguatan industri manufaktur. Misalnya, revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No241 tahun 2010 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk (BM) atas Barang Impor. Regulasi itu, katanya, membuat sejumlah industri manufaktur terpaksa membayar biaya lebih tinggi.
Industri tekstil dan produk tekstil contohnya. Sektor itu mendapat program restrukturisasi yang membuat impor mesin mendapatkan potongan bunga kredit 10%. Namun, impor mesin itu juga dikenai bea masuk 5%. "Dengan PMK itu, insentif yang diberikan kepada industri TPT menjadi tidak efektif," ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News