Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) menyambut baik seruan pemerintah untuk meningkatkan pemanfaatan batubara bagi keperluan dalam negeri. Menurut Ketua Kebijakan Publik IAGI Singgih Widagdo, batubara memang tidak boleh hanya dipandang sebagai komoditas ekspor, melainkan harus dilihat sebagai sumber energi.
Kendati demikian, Singgih menilai bahwa untuk mewujudkan harapan tersebut tidak semudah membali telapak tangan. "Untuk meningkatkan serapan domestik perlu persiapan panjang yang terintegrasi dengan roadmap pembangunan nasional," kata Singgih kepada Kontan.co.id, Senin (24/6).
Singgih menjelaskan, sektor yang akan menyerap batubara paling dominan masih tetap di sektor ketenagalistrikan. Artinya, pertumbuhan di sektor setrum ini akan berdampak signifikan terhadap serapan batubara. "Namun realtif susah karena pertumbuhan ekonomi nasional sebatas 5,3%, sehingga bisa jadi pertumbuhan listrik saat ini cuman 4%," ungkap Singgih.
Adapun, berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN tahun 2019-2028, proyeksi kebutuhan batubara pada tahun 2028 berada di angka 153 juta ton. Atas perhitungan tersebut, Singgih berpendapat bahwa kebutuhan batubara untuk total industri dalam negeri hanya berkisar di angka 225 juta ton atau sekitar 40% dari produksi saat ini.
Oleh sebab itu, sambung Singgih, yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah selama 10 tahun ke depan ialah bagaimana mengoptimalkan ekspor batubara. Bisa melalui asuransi nasional maupun persiapan industri kapal nasional.
"10 tahun ke depan ekspor tetap di atas domestik, justru dengan kondisi harga yang etrus turun di tengah oversupply pemerintah harus mempersiapkan visi dalam mengelola ekspor," sambungnya.
Adapun, berdasarkan laporan dari Badan Geologi Kementerian ESDM tahun 2018, sumber daya batubara Indonesia ada di angka 151,39 miliar ton. Sedangkan cadangannya berkisar pada 38,89 miliar ton.
Namun, Singgih mengingatkan bahwa angka tersebut masih harus diperhitungkan lebih detail atas kualitas batubara serta nilai keekonomiannya. "Jadi riil reserve yang bisa dimanfaatkan harus didetailkan lebih dulu," terangnya.
Singgih pun menekankan, jangan sampai pemerintah hanya memandang coal reserve yang tinggi, namun lupa untuk mengelola batasan produksi batubara nasional. Terlebih dengan naiknya jumlah Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP). "Justru itu bisa menjadi backfire pada harga di tengah kondisi oversuplly saat ini," ujarnya.
Menurut Singgih, pemerintah juga perlu mempertimbangkan agar royalti bisa dibuat fleksible atas harga yang ada. Jika memaksakan royalti fix tanpa memandang harga, kata Singgih, dikhawatirkan perusahaan akan mengurangi efisiensi melalui overburden yang justru dapat berdampak pada konervasi. "Kepentingan bukan saja bagi penambang, namun juga bagi pemerintah dalam mengelola konservasi energi," tandas Singgih.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News