Reporter: Dimas Andi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) masih dihantui oleh masalah menjamurnya produk impor tekstil ilegal di dalam negeri.
Berdasarkan data BI, BPS, APSyFI yang diolah Indotextile, jumlah impor produk tekstil ilegal mencapai 320.000 ton pada 2022 atau naik dibandingkan tahun sebelumnya yakni sebesar 285.000 ton. Impor produk tekstil ilegal pada 2022 setara dengan 16.000 kontainer per tahun atau 1.333 kontainer per bulan.
Total kerugian akibat impor produk tekstil ilegal pada 2022 mencapai Rp 32,48 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.500 per dolar AS. Pemerintah pun berpotensi kehilangan pendapatan sebesar Rp 19 triliun akibat impor ilegal tersebut.
Dalam data tersebut, jenis-jenis impor produk tekstil ilegal terdiri impor unprosedural seperti borongan, under invoice, transhipment, dan pelarian HS; rembesan kawasan berikat, gudang berikat, pusat logistik berikat, dan penyelewengan kemudahan impor tujuan ekspor (KITE); penyelewengan izin impor API-P dan API-U; serta importasi pakaian bekas.
Baca Juga: Trisula International (TRIS) Menargetkan Pendapatan Tumbuh 5% pada Tahun 2023
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menduga, untuk impor produk tekstil ilegal dengan modus borongan, under invoice, transhipment, dan penyalahgunaan izin impor dilakukan oleh pemain-pemain yang sama.
"Pemainnya itu-itu juga, ada sekitar 5-7 orang di mana tiap orang punya sekitar 20 perusahaan," ujar dia, Minggu (26/3).
Ia juga bilang, untuk importasi pakaian bekas kemungkinan dilakukan oleh pemain yang berbeda dengan modus impor ilegal yang disebutkan sebelumnya.
Yang terang, praktik impor produk tekstil ilegal tampak terjadi secara masif. Ini mengingat 90% dari total 320.000 ton impor produk ilegal tekstil terjadi pada semester kedua 2022, berhubung pada semester satu tahun lalu freight rate angkutan kapal masih mahal.
"Praktik ini sudah menjamur, terstruktur, dan terorganisir di antara para importir, oknum pelabuhan, dan oknum pengambil kebijakan," tegas Redma.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartika Sastraatmadja menambahkan, salah satu alasan importir melakukan praktik impor produk tekstil ilegal adalah mereka ingin memperoleh keringanan bea masuk atau pajak.
Dengan begitu, pebisnis TPT yang mendapat produk impor ilegal tersebut memiliki level playing field yang berbeda dengan pebisnis TPT lokal. Hal ini tentu merugikan industri TPT dari hulu hingga hilir, termasuk pemain TPT dari segmen IKM.
Secara umum, produk-produk impor tekstil yang masuk ke Indonesia berasal dari beberapa negara penghasil tekstil lainnya seperti China, India, Pakistan, Vietnam, dan Bangladesh. Mereka pun sebenarnya juga kesulitan menembus pasar Eropa dan Amerika Serikat yang tengah dilanda resesi, sehingga permintaan produk tekstil dari kedua kawasan tadi merosot.
"Inflasi dan PMI Manufaktur Indonesia lebih baik dari negara-negara lain. Makanya, Indonesia dijadikan target pasar oleh mereka," ungkap Jemmy, Minggu (26/3).
Baca Juga: Industri Padat Karya Boleh Pangkas Upah, Demi Buruh atau Pengusaha?
Lantaran pasar Indonesia masih menghadapi gempuran produk tekstil impor ilegal, para pemain TPT lokal kesulitan memaksimalkan utilisasi pabrik-pabriknya. Maka dari itu, API menganggap trade barrier atau hambatan perdagangan sangat dibutuhkan untuk menjaga utilitas produsen TPT lokal di tengah banjir impor tekstil ilegal.
APSyFI juga menyebut, para pelaku usaha TPT dalam negeri harus bertahan dengan mengurangi produksi hingga menutup pabrik sampai pemerintah bisa membereskan masalah impor produk tekstil ilegal.
KONTAN sempat berupaya mengonfirmasi data impor produk tekstil ilegal tersebut beberapa hari yang lalu kepada Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Perdagangan (Kemendag) Ani Mulyati. Namun, dia menyarankan KONTAN untuk mengonfirmasi langsung melalui Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Namun, hingga tulisan ini dibuat, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai Kemenkeu Nirwala Dwi Heryanto dan Direktur Jendral Bea dan Cukai Kemenkeu Askolani tidak merespons pertanyaan KONTAN.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News