Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Narita Indrastiti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) perlu menempuh satu langkah lagi untuk bisa memegang 51% saham PT Freeport Indonesia (PTFI). Yakni soal pembayaran sebesar US$ 3,85 miliar atau sekitar Rp. 56 triliun.
Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin yakin, pihaknya bisa menuntaskan pembayaran itu pada bulan November tahun ini. Namun, sekalipun nanti memiliki mayoritas saham, tampaknya Inalum tak serta merta bisa pegang kendali di ranah manajemen ataupun sebagai operator.
Pasalnya, Inalum akan bersama-sama dengan Freeport-McMoran untuk menjalankan manajemen dan operasi di PTFI. Menurut Budi, hal ini dilakukan dengan pertimbangan untuk menjaga keberlanjutan dan kinerja produksi, apalagi saat ini operasi tambang terbuka (open pit) akan habis secara bertahap.
“Jadi artinya, kita mau jalanin ini bersama-sama, karena penting buat Inalum dan dia (Freeport) operasinya berjalan dengan mulus. Dimana di tahun 2019 sampai 2020 mungkin produksinya akan turun karena habisnya yang tambang terbuka,” kata Budi saat ditemui di Kementeria ESDM, Jumat (28/9).
Budi menyebutkan, apabila proses pengambilalihan tidak berjalan mulus, dimana itu hanya akan merugikan perusahaan. Jadi, meski pasca divestasi nanti Inalum memiliki saham mayoritas dari 9,36% menjadi sebesar 51,23%, namun posisi dan pengaturan manajemen akan dipilih bersama.
Budi mengibaratkan, pengaturan manajemen ini ibarat hubungan suami istri, tak ada yang saling mendominasi dan dilakukan dengan persetujuan bersama. “Milih dan kendalinya bareng-bareng, sebenarnya udah jelas dari pemegang sahamnya kan kita lebih (besar), cuman dalam pengambilan keputusan kan kita ajak, jadi kaya suami istri lah,” tambahnya.
Terlebih, imbuh Budi, untuk menyiasati merosotnya produksi pada operasi tambang terbuka, saat ini sedang dalam proses masa transisi ke tambang bawah tanah (underground pit). Sedangkan Budi bilang, underground pit ini merupakan yang terkompleks dan terbesar di dunia.
“Jadi benar-benar memerlukan kerjasama yang baik. Artinya kita nggak boleh ribut-ribut, harus bener-bener kerjasma buat bisa menjadikan ini,” kata Budi.
Tak hanya dari sisi manajemen dan pengelolaan produksi, soal pihak yang menentukan penjualan hasil produksi tambang pun juga demikian.
Tak jauh beda, Head of Corporate Communication Inalum Rendi A. Witular pun berujar, pihaknya tak mau menyita energi dengan perdebatan dan lebih memilih fokus bagaimana produksi tambang bawah tanah nanti tidak mengalami kegagalan.
Apalagi, lanjut Rendi, pihaknya juga berkepentingan untuk menjaga kinerja bisnis dan produksi karena harus membayar utang yang dipakai untuk membiayai divestasi ini. Sebab, seperti diketahui, untuk melunasi pembayaran sebesar US$ 3,85 miliar atau sekitar Rp. 56 triliun itu, Inalum akan mendapatkan pinjaman dari 11 perbankan asing melalui sindikasi.
“Kalau ribut-ribut, nanti kapan kerjanya tambang ini. Kita intinya juga kan harus bayar hutang. Jadi energi kita tidak mau terrsita dengan masalah perdebatan. Sama lah, analoginya Pasutri (pasangan suami-istri)” kata Rendi.
Namun, menurut pengamat hukum sumber daya alam dari Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi, posisi Inalum yang tidak bisa dominan dengan kepemilikan saham mayoritas itu dinilai merugikan. Sebabnya, Redi mengungkapkan, divestasi ini semestinya memiliki dua keuntungan peralihan untuk Inalum.
Pertama soal peralihan manfaat yang terkait dengan urusan bisnis atau finansial. Kedua, peralihan pengendalian yakni soal manajemen dan operator produksi. Hal ini, lanjut Redi, merupakan konsekuensi dari kepemilikan mayoritas saham untuk bisa menentukan arah pengendalian dalam sebuah korporasi.
“Kalau dalam konteks kepemilikan saham yang 51%, jadi manfaatnya tidak kelihatan, karena toh tetap dilakukan bersama-sama. Ini bukan seperti hubungan suami istri, bukan konteks seperti itu. Ini hubungan bisnis, korporasi, jadi harus jelas,” ujar Redi saat dihubungi KONTAN, Minggu (30/9).
Untuk itu, Redi menekankan, sebelum pelunasan pembayaran, perlu ada kejelasan dan batas waktu tertentu terkait dengan peralihan manajemen dan operator ini. Misalnya, imbuh Redi, saat izin operasi (IUPK) diberikan selama 2x10 tahun, pada 10 tahun berikutnya setelah underground mining sudah dimulai, hak operasi itu segera beralih dari Freeport ke Inalum.
“Idealnya ada batas waktu yang tegas. Skemanya seperti apa. Sebelum terjadi pembayaran, itu harus jelas. Kalau tidak, buat apa divestasi jika tetap tak pegang kendali, apalagi uang sudah keluar, harus bayar hutang pula” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News