Reporter: Hasbi Maulana | Editor: Hasbi Maulana
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Impian Indonesia dari zaman ke zaman untuk mengambil alih PT Freeport Indonesia (FI) bisa jadi benar-benar akan terwujud. Pemerintah Indonesia, melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dan Freeport McMoran (FCX) --induk usaha FI-- telah meneken Head of Agreement “jual-beli saham” raksasa tambang mineral di Papua itu.
Ada dua transaksi terpisah yang bakal terjadi jika kesepakatan yang belum mengikat itu benar-benar terwujud dalam sebuah proses jual beli.
Transaksi pertama berupa pembelian 100% saham PT. Indocopper Investama oleh Inalum dari tangan Freeport McMoran (FCX). Sejak tahun 2002 Indocopper menguasai 9,36% saham PT. Freeport Indonesia. Untuk mengambil alih hampir sepersepuluh saham FI tersebut Inalum kudu merogoh kocek sedalam US$ 350 juta.
Transaksi kedua yang akan ditempuh Inalum sesuai perjanjian yang diteken Kamis 12 Juli 2018 lalu itu adalah pembelian participating interest (PI) Rio Tinto di Freeport Indonesia seharga US$ 3,5 miliar. Participating interest yang dimaksud adalah hak dan kewajiban yang melekat pada Rio Tinto terhadap Freeport Indonesia, meski Rio Tinto bukan pemegang saham Freeport Indonesia.
Dari rencana transaksi yang diumumkan pekan lalu inilah banyak orang Indonesia baru tahu bahwa ketika selama ini kita membicarakan Freeport Indonesia seharusnya nama Rio Tinto juga perlu kita sebut.
Nah, dengan membelanjakan duit segede embah gaban yang kalau dirupiahkan dengan kurs US$ 1 = Rp 14.000 setara Rp 53,9 triliun tersebut, kelak Inalum akan menguasai 51% saham di PT. Freeport Indonesia.
Rencana transaksi ini segera mengundang berbagai komentar dan tanggapan. Sebagian kalangan mempertanyakan kewajaran nilai yang kudu dibayar Inalum demi mewujudkan ambisi populer bersalut nasionalisme secara turun temurun itu. Intinya, banyak orang khawatir jangan-jangan Pemerintah membeli 51% saham Freeport pada harga yang terlampau mahal.
Kekhawatiran semacam bisa dimengerti karena transaksi ini nanti bakal rumit bagi banyak kalangan yang tidak terlibat langsung dalam perundingan. Jangankan masyarakat awam di Indonesia, para investor dan trader yang biasa berjual beli saham FCX di Bursa Saham New York pun kebingungan. Selama dua hari setelah kesepakatan ini diumumkan, harga saham FCX anjlok 3,26%.
Salah satu titik kritis penilaian kewajaran transaksi ini adalah pembelian participating interest Rio Tinto yang makan ongkos sekitar Rp 42 triliun sendiri. Memang di sinilah terletak ketidaklaziman transaksi ini. Inalum bukan membeli saham Rito Tinto di Freeport Indonesia, melainkan membeli kepentingannya.
Kelak, setelah pembelian hak dan kewajiban Rio Tinto ini selesai, akan ada mekanisme finansial yang mengubah participating interest tersebut menjadi penyertaan saham. Nah, porsi saham hasil konversi itu, ketika nanti pada saatnya ditambah saham hasil pembelian dari Indocopper dan saham milik pemerintah, akan setara 51% saham Freeport Indonesia.
Salah satu pertanyaan yang banyak muncul berkaitan dengan skema ini adalah bagaimana asal muasal Rio Tinto bisa memiliki kepentingan di Freeport Indonesia? Kok bisa-bisanya Rio Tinto yang berkantor pusat di London, Inggris, itu memiliki kepentingan terhadap perusahaan tambang yang berlokasi di pedalaman Papua?
Sebelum kita ke sana, yuk, kita tengok dulu sisi mudah transaksi ini, yaitu pembelian saham Indocopper. Siapa Indocopper dan bagaimana perusahaan berbadan hukum Indonesia ini dimiliki sepenuhnya oleh Freeport McMoran yang berkantor di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat, ini?
Cerita lama pertama: Indocopper di Freeport
Pernahkah Anda mendengar dongeng populer: “Kisah Sekeping Uang Logam”? Dongeng itu bercerita tentang nasib uang logam yang berpindah dari tangan ke tangan, dari saku ke saku, hingga di akhir cerita kembali ke saku pemilik di awal dongeng.
Kira-kira seperti itulah dongeng tentang 9,36% saham Freeport Indonesia milik Indocopper yang hendak dibeli Inalum. Lebih dari dua puluh tahun silam perusahaan ini sempat menghebohkan jagat bisnis di Indonesia waktu itu. Beberapa kali Tabloid KONTAN edisi awal tahun 1997 menjadikan kisah Indocopper ini sebagai cover story.
Alkisah pada tahun 1988 penemuan cadangan baru di Grasberg melonjakkan kapasitas produksi PT Freeport Indonesia (FI). Kapasitas produksi tembaga menjadi 21,8 miliar pound (naik 45%), kapasitas produksi emas menjadi 32,4 juta ounces (naik 47%), dan kapasitas produksi perak menjadi 50 juta ounces (naik 34%). Kapasitas (cadangan) emas bahkan diperkirakan mencapai 72 juta ounces.
Setahun kemudian FI minta perpanjangan kontrak karya kepada Departemen Pertambangan dan Energi (ketika itu menterinya Ginandjar Kartasasmita) untuk menggarap cadangan baru yang dahsyat tersebut. Dalam negosiasi pemerintah menetapkan syarat-syarat tambahan, antara lain kepemilikan pihak Indonesia harus meningkat.
Juni 1991, Freeport mengumumkan akan menjual 10% sahamnya ke investor Indonesia dan 10% lagi akan diserahkan kepada pemerintah. Ketika itu nama Bakrie disebut-sebut sebagai calon pembeli, Bimantara juga dikabarkan berminat.
Enam bulan kemudian, 30 Desember 1991, akhirnya kontrak karya yang baru untuk FI diteken. Bersamaan itu pula pemerintah memperoleh jatah 10% saham dan Bakrie membeli 10%.
Januari 1992, pembelian saham Freepoert oleh Bakrie dilakukan melalui PT Bakrie Investindo, anak perusahaan yang memang khusus untuk berinvestasi. Saham 10% itu diatasnamakan PT indocopper Investama, dibeli dengan harga sekitar US$ 213 juta. Konon dana yang dipakai untuk membeli saham ini merupakan pinjaman sindikasi utang bank luar negeri yang dijamin oleh FI sendiri.
Tak sampai setahun kemudian, Desember 1992, Freeport membeli 49% saham Indocopper Investama dengan nilai hampir US$ 212 juta. Sisa saham Indocopper (51%) tetap menjadi milik Bakrie. Nilai ini hampir sama dengan nilai yang dikeluarkan Bakrie untuk membeli FI untuk Indocopper tadi.
Hampir berbarengan dengan itu, Indocopper juga go public di bursa paralel yang kemudian menjadi Bursa Efek Surabaya (BES). Hanya 0,52% saham yang dilepas ke publik.
Dua tahun kemudian, Juli 1994, Indocopper berpindah saku lagi. Ini terjadi ketika Bakrie Brothers, perusahaan holding investasi milik Grup Bakrie, melakukan penjualan saham secara terbatas (rights issue) senilai Rp 1,2 triliun. Nah, dana yang mereka peroleh dari hajatan itu sebagian di antaranya dipakai membeli saham Indocopper Investama dari PT Bakrie Investindo. Nilainya US$ 267,75 juta. Ibarat kata Indocopper berpindah dari saku kanan ke saku kiri Grup Bakrie.
Menguasai saham tambang tembaga, perak, dan emas selama kurang lebih dua setengah tahun lamanya, pada awal 1997 secara mengejutkan Bakrie Brothers melego saham Indocopper. Selama tiga bulan sebelum transaksi, kalangan bisnis waktu itu mempertanyakan alasan di balik penjualan tersebut maklum Indocopper ibarat sapi perah gemuk yang bisa diambil susunya saban pagi.
Akhirnya, mengutip Tabloid KONTAN edisi 3 Februari 1997, Bakrie mengungkapkan penjualan itu disarankan oleh penasihatnya, Solomon Brothers, dengan alasan jauh dari core business di bidang telekomunikasi dan pipa.
Kelak di kemudian hari, entah kebetulan atau tidak, kepergian Bakrie dari Freeport tersebut terjadi setelah Rio Tinto ikut cawe-cawe di Papua. Anda akan mendapati kisahnya di bagian lain tulisan ini.
Adalah PT Nusamba Mineral Industri yang membeli saham Indocopper dari Bakrie Bros. Mengajukan tawaran harga hampir senilai US$ 312 juta, Nusamba Mineral berhasil mengambil alih saham Bakrie di Indocopper, sehingga bersama-sama pemegang saham publik dan Freeport McMoran memiliki sekitar 9,36% saham PT Freeport Indonesia.
Kala itu kelompok usaha Nusamba dikenal sangat lekat dengan pengusaha Mohamad "Bob" Hasan yang menguasai 10% saham dan menjadi "motor"nya. Sisa saham Nusamba dipegang oleh Sigit Hardjojudanto (10%) dan tiga yayasan sosial yang dipimpin Presiden Soeharto sebesar 80%.
Untuk mendanai pembelian itu, rupanya Nusamba menggunakan duit utangan dari sejumlah bank yang dipimpin Chase, nilainya US$ 254 juta. Lagi-lagi Freeport berbaik hati menjadi penjamin pinjaman itu.
Setelah itu, hampir selama lima tahun Nusamba anteng menikmati dividen dari Freeport Indonesia melalui Indocopper. Sampai, kemudian, krisis ekonomi yang mendera Indonesia di era 1997-1999 mengusik kenyamanan itu.
Menjelang jatuh tempo pembayaran utang untuk mendanai pembelian saham Indocopper, 18 Maret 2002, Nusamba menyatakan tak sanggup membayar utangnya. Sebagai penjamin, akhirnya, Freeport McMoran mengambil alih seluruh saham milik Nusamba di Indocopper dan melunasi utang Nusamba.
Bahkan agar bisa menguasai 100% saham Indocopper, Freeport McMoran bersedia memborong semua saham publik dengan harga hampir lima kali lipat dari harga pasar. Sejak saat itu pula, Indocopper go private dan nyaris tidak pernah disebut-sebut lagi dalam berbagai kabar seputar Freeport Indonesia.
Sampai, akhirnya, Jumat (12/7) lalu muncul pengumuman bahwa perusahaan ini akan kembali berpindah saku, kali ini ke “saku” Inalum.
Kisah lawas kedua: Rio Tinto di Grasberg
Dari berbagai publikasi, rilis pers, serta dokumen resmi Freeport McMoran dan Rio Tinto yang dilaporkan ke otoritas bursa masing-masing, kisah kehadiran Rio di gunung Grasberg bisa terlacak dengan cukup gamblang.
Meski nama perusahaan ini nyaris tidak pernah disebut-sebut dalam beragam berita terkait tarik ulur bisnis dan regulasi antara Freeport dan Pemerintah Indonesia, Rio Tinto --kala itu masih bernama RTZ-- datang ke Freeport Indonesia karena undangan Freeport McMoran.
Pada Mei 1995 Freeport McMoran, Freeport Indonesia, dan Rio Tinto sepakat membentuk usaha bersama (joint venture). Dalam kerja sama itu Rio Tinto setuju mendanai biaya eksplorasi Freeport Indonesia senilai US$ 100 juta.
Setelah dana itu mengucur sepenuhnya, pada 11 Oktober 1996, Freeport McMoran dan Rio Tinto meneken perjanjian kerjasama joint venture ini. Masih dalam kerangka perkongisan itu, Rio Tinto sanggup untuk turut serta mendanai ekspansi Freeport di masa depan dalam porsi 40%.
Sebagai imbal hasil, Rio Tinto berhak menerima pendapatan hasil produksi tambang sebesar porsi 40% pula. Inilah yang dimaksud dengan partisipating interest yang dimiliki Rio Tinto di Freeport.
Berhubung keterlibatan Rio di Freeport Indonesia tidak sedari awal, maka jatah 40% Rio tersebut disertai dengan beberapa syarat. Sejak kongsi tersebut terbentuk hingga tahun 2021, jatah 40% untuk Rio hanya berlaku jika produksi mineral Freeport di atas 118.000 ton per hari. Dengan kata lain 100% uang dari penjualan 118.000 ton hasil tambang masuk Freeport Indonesia. Lalu, baru kalau ada kelebihan produksi di atas ambang volume itu, 40%-nya menjadi hak Rio Tinto.
Bagaimana setelah tahun 2021? Meski perpanjangan kontrak karya belum bisa dipastikan waktu itu, kedua pihak sudah mengantisipasi skenario lanjutan. Setelah 2021, Rio Tinto akan memperoleh 40% hasil penjualan bahan tambang produksi Freeport, tanpa ada batasan volume minimal produksi lagi.
Sekadar gambaran, ketika perjanjian joint venture tersebut diteken, tingkat produksi tambang Freeport Indonesia sekitar 125.000 ton per hari. Setelah ekspansi yang ditargetkan rampung pada pertengahan 1998, tingkat produksi akan meningkat berkisar 190.000 ton sampai 200.000 on per hari.
Dalam perjanjian ini juga disebut bahwa Rio Tinto sanggup mencairkan pinjaman sebesar US$ 450 juta untuk mendanai ekspansi. Menurut laporan yang pernah disampaikan Freeport McMoran kepada otoritas pasar modal AS pada tahun 2000, pinjaman lunak Rio Tinto itu benar-benar pernah terkucur untuk membiayai perluasan fasilitas penggilingan konsentrat pada tahun 1998.
Laporan tersebut juga menyebut bahwa hanya dalam tempo kurang dari dua setengah tahun, Freeport Indonesia melunasi pinjaman itu kepada Rio Tinto berikut bunganya.
Setelah itu, laporan tahunan Freeport McMoran selalu menyebut-nyebut Rio juga terlibat memodali beberapa proyek dan pembelian aset produksi yang dilakukan oleh Feeport Indonesia.
Penulusuran KONTAN.co.id sejauh ini belum bisa memastikan besar total duit yang sudah ditanamkan Rio Tinto dalam perkongsian selama 22 tahun terakhir ini. Namun sebagian pengamat bisnis pertambangan menyebut setidaknya Rio sudah merogoh kocek total sampai sekitar US$ 1,3 miliar.
Pertanyaan menggelitik lanjutan, berapa banyak pula duit yang pernah diterima Rio Tinto sejak 1996 sampai sekarang?
Menelisik laporan keuangan tahunan Freeport McMoran sejak 2007 sampai 2017, nilai total bagi hasil yang diterima Rio Tinto dari Freeport Indonesia dalam satu dasa warsa ini sekitar US$ 523 juta. Sayang, untuk 10 tahun sebelumnya, KONTAN.co.id belum menemukan jejaknya.
Nah, itulah kisah dua perusahaan yang kepentingannya di Freeport Indonesia bakal diambil alih Pemerintah Indonesia melalui Inalum. Akankah transaksi impian ini bakal benar-benar terwujud, mari kita tunggu bersama kenyataannya.
Jika Anda ingin lebih mengenal Freeport Indonesia sendiri, dari sejak lahirnya sampai alotnya tarik ulur divestasi sahamnya, silakan bolak-balik halaman Liputan Khusus Freeport yang tersaji secara interaktif dan menarik ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News