Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Dina Hutauruk
KONTAN.CO.ID - MANILA. Vape atau rokok elektrik sudah masuk ke Indonesia sejak tahun 2012. Jumlah pengguna vape terus meningkat seiring mulai banyaknya masyarakat beralih dari rokok konvensional. Berdasarkan data dari Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), pengguna vape pada tahun 2020 telah mencapai 2,2 juta orang, naik dari 1,2 juta pada 2018.
Meskipun sudah ada di Indonesia satu dekade, namun hingga kini belum ada regulasi khusus yang mengatur terkait rokok elektrik, terutama terkait perlindungan anak di bawah umur. Padahal penyalahgunaan rokok elektrik yang berujung pada tindak pidana rawan terjadi.
Dalam draf rancangan undang-undang (RUU) atau omnibus law tentang kesehatan yang sedang digodok di DPR, pemberlakukan rokok elektrik disamakan dengan rokok konvensional. Artinya, aturan mainnya akan sama dengan rokok sigaret.
Sementara APVI menyerukan agar pemerintah membedakan pengaturan antara rokok elektrik dengan rokok konvensional. Sebab, keduanya dinilai memiliki perbedaan risiko dari kedua jenis produk.
Beberapa negara di dunia saat ini sudah memiliki regulasi rokok elektrik seperti Filipina, Inggris dan Selandia Baru. Indonesia dinilai bisa belajar dari negara-negara tersebut dalam membuat aturan vape, terutama Filipina.
Eddie Chew, Global Head of External Affairs RELX International, mengatakan undang-undang rokok elektrik di Filipina mengadopsi pendekatan berbasis bukti ilmiah untuk mencegah akses bagi kelompok masyarakat di bawah umur dan sekaligus memungkinkan perokok yang ingin berhenti untuk menemukan alternatif yang lebih baik.
Dia optimis bahwa Indonesia bisa menghadirkan regulasi rokok elektrik seperti Filipina. "Kami yakin pemerintah Indonesia akan mengembangkan peraturan yang juga berdasarkan ilmu pengetahuan dan bukti ilmiah," kata dia dalam RELX International Media Workshop di Manila, Jumat (19/5).
Pemerintah Filipina mengesahkan regulasi produk tembakau alternatif atau Vaporized Nicotine and Non-Nicotine Products Regulation Act (VNNP) yang tertuang dalam Republic Act (RA) No 11900 sejak Juli 2022. Beleid tersebut secara umum mengatur mengenai impor, pembuatan, penjualan, pengemasan, distribusi, penggunaan, dan komunikasi produk vape seperti rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan.
Untuk melindungi anak di bawah umur dan non perokok, penjualan, iklan, dan promosi produk vape dilarang dilakukan dalam jarak 100 meter dari perimeter sekolah dan taman bermain. Selain itu, kemasan produk vape juga tidak diperbolehkan didesain dengan deskripsi rasa dan barang-barang yang terlalu menarik bagi anak di bawah umur.
Joey Dulay, President of Philippine E-cigarette Industry Association (PECIA) mengatakan, RA 11900 disusun melalui banyak riset dan pertemuan untuk memberikan kerangka peraturan yang komprehensif tentang produk bebas asap yang dipandang sebagai pilihan yang kurang berbahaya bagi rokok.
“RA 11900 mengatur industri untuk kesejahteraan konsumen. Kami mendukung aturan ini karena memberikan peraturan komprehensif yang akan melindungi konsumen dan mempromosikan perdagangan yang bertanggung jawab, memastikan anak di bawah umur dan bukan perokok terlindungi,” kata Joey di Manila, Kamis (18/5).
Wes Gatchalian, anggota perlemen Filipina yang menjadi salah satu perancang utama RA 11900 menjelaskan bahwa aturan ini dirancang agar pemasaran produk rokok elektrik diarahkan hanya pada perokok aktif. Negara ini tercatat memiliki 16 juta perokok aktif.
Resiko Kesehatan Vape Versus Rokok Konvensional
Senada, Dr Collin Mendelsohn, Founding & Chairman Australian Tobacco Harm Reduction Association yang sudah lebih dari 30 tahun fokus membantu dan melakukan penelitian untuk membantu orang-orang berhenti merokok, menilai ketiga negara tersebut bisa menjadi pelajaran bagi negara lain dalam menyusun regulasi terkait rokok elektrik.
Menurutnya, jika tidak ada isu politik, penyusunan aturan terkait rokok elektrik di berbagai negara sebetulnya tidaklah sulit. Sebab sudah ada berbagai penelitian yang membuktikan bahwa vape efektif untuk membantu orang berhenti merokok, terutama di Australia, New Zealand dan Inggris.
Dia mengatakan, dampak negatif rokok lebih jauh lebih besar dari vape dilihat dari kandungan kimia yang terkandung di dalam. Ia menyebut kandungan kimia yang saat sigaret dibakar mencapai lebih dari 7.000, sedangkan kandungan pada vape hanya sekitar 100 bahan kimia.
"Tidak ada yang menyebut vape sehat. Tetapi jika dibandingkan kandungan negatifnya dengan sigaret, keduanya tidak pas untung dibandingkan. Rokok bisa membunuh karena proses pembakarannya, sedangkan konsumsi vape tidak lewat dibakar," jelas Collin.
Tingkat perokok di Australia dan New Zealand, kata Collin, tercatat telah menurun drastis sejak aturan vape di negara tersebut diluncurkan pada tahun 2020. Dia bilang, berbagai studi menyebut bahwa vape sekitar 50%-100% lebih efektif untuk berhenti merokok dibandingkan dengan terapi nikotin replacement.
Collin telah melakukan penelitian yang membuktikan bahwa vape efektif membantu orang berhenti merokok yang dia tuangkan dalam buku berjudul "Stop Smoking Start Vape'. Dia mengklaim tak pernah menerima pendanaan dari perusahan vape atau tembakau dalam melakukan penelitian terkait vape. Ia fokus melakukan penelitian di bidang ini setelah orang-orang terdekatnya meninggal karena kanker yang diakibatkan kebiasaan merokok berat.
"Ketika saya berusia 40 tahun, ayah saya meninggal karena kanker akibat rokok. Padahal sama seperti saya, dia dokter umum yang paham resiko rokok. Dia sudah perjalanan panjang masalah kesehatan akibat rokok tetapi dia tidak bisa berhenti dari rokok," tutur Collin.
Sebagai salah satu pemain industri vape dengan sistem tertutup, RELX International mengaku tak pernah mengangkat narasi bahwa vape sehat. Namun, perusahaan rokok elektrik multinasional ini mengklaim bahwa resiko kesehatan akibat vape lebih rendah dari rokok.
Elgin Seah, Senior Manager RELX International mengatakan, komposisi dalam produk RELX terdiri dari pcopylene clyco atau senyawa yang biasa digunakan dalam pembuatan roti, vegetable glycerin atau produk alkohol gula yang biasa digunakan dalam pembuatan cake, zat pemberi rasa, dan nikotin.
"Produk RELX International diproduksi dilokasi fasilitas manufaktur dengan pemeriksaan produk dan proses kontrol kualitas yang ketat," kata dia.
RELX Internasional telah beroperasi di lebih dari 10 negara, yakni Indonesia, New Zealand, Australia, Philipina, Italia, Spanyol, Inggris, Belanda, Jerman dan Swiss.
Di Indonesia, perusahaan ini sudah masuk sejak tahun 2019 dan tercatat memiliki 550 toko di 70 kota. RELX juga memasarkan produknya bekerjasama dengan jaringan ritel dan melakukan penjualan lewat e-commerce.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News