Reporter: Tane Hadiyantono | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Diplomasi perjanjian dagang Indonesia dengan Uni Eropa kerap terkendala isu sawit. Pasalnya sawit menjadi komoditas utama Indonesia baik dalam perdagangan ekspor dan industri dalam negeri.
Hal ini dinilai sebagai prioritas yang harus terus dipertahankan dalam melakukan dialog perdagangan internasional.
Mahendra Siregar, Direktur Council Palm Oil Producing Countries (CPOC) melihat prioritas pemerintah mengutamakan sawit dalam perjanjian dagang internasional sudah tepat.
"Dalam RED II, posisi Indonesia tegas, juga dalam perundingan IEU-CEPA, tidak akan tanda tangan selama ada pasal diskriminasi terhadap sawit," jelasnya, Kamis (18/10).
Apalagi komitmen pengusaha sawit mendapatkan sertifikasi RSPO dan ISPO merupakan tindakan sukarela untuk menunjukkan keseriusan industri.
Namun bila pemerintah Uni Eropa memutuskan hal tersebut menjadi kebijakan, maka menjadi langkah diskriminatif karena tidak diterapkan ke minyak nabati lain terutama yang dihasilkan Eropa sendiri.
Tak hanya itu, Mahendra juga menyampaikan perundingan pembelian pesawat Airbus oleh pemerintah juga telah ditunda sampai menunggu penyelesaian terhadap isu-isu dan regulasi yang mengimplikasi pada diskriminasi sawit.
Ia juga menyampaikan bahwa langkah Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita yang mengambil langkah menahan impor salmon Norwegia karena negara tersebu menolak biofuel Indonesia sebagai langkah yang tepat.
"Memang harus diprioritaskan karena kontribusi strategis, nilai tambah dan lapangan kerja pada sawit, maka tepat bila hal tadi menjadi prioritas yang benar-benar dijaga kepentingannya dalam menjaga hubungan dengan negara lain," kata pria yang telah ditetapkan menjadi Duta Besar RI untuk Amerika Serikat ini.
Di sisi lain, Bhima Yudhistira Adhinegara. Peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) juga menyampaikan dalam menghadapi berbagai sentimen negatif dan manuver politik asing yang berimplikasi negatif pada perdagangan dan sawit Indonesia harus ditanggapi dengan serius.
Langkah tersebut dapat dilakukan dengan melakukan diplomasi total antara pemerintah dan pedagang, dan melakukan kampanye positif ke dalam dan luar negeri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News