Sumber: Kompas.com | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Pelaku industri keramik di Indonesia membutuhkan gas lebih murah. Hal ini diperlukan agar industri keramik dalam negeri mampu bersaing dengan industri sejenis di luar negeri.
"Harga gas untuk industri keramik di Indonesia selama ini terbilang paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain," kata Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Elisa Sinaga ketika dihubungi Jumat (11/9).
Elisa menuturkan, harga gas untuk industri keramik di zona Sumatera Utara sekitar US$ 14 per MMBTU, sementara harga gas untuk industri keramik di zona Jawa Timur US$ 8,7 per MMBTU dan di zona Jawa Barat US$ 9,2 per MMBTU.
Menurut Elisa, kisaran harga gas industri keramik setinggi itu sangat tidak kompetitif jika dibandingkan dengan harga gas industri keramik di negara lain yang rata-rata kurang dari US$ 6 per MMBTU.
"Harga gas industri di Singapura, misalnya, cuma US$ 5 per MMBTU. Di Malaysia malah kurang dari US$ 5 per MMBTU," ujar Elisa.
Elisa mengatakan, dukungan berupa harga gas murah dibutuhkan karena porsi biaya untuk gas di industri keramik mencapai 30% dari total biaya produksi.
Asaki mendukung ketika ke depan gas tidak lagi dijadikan sumber langsung pendapatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. "Tetapi sebagai stimulus pembangunan. Dalam hal ini, seharusnya harga gas lebih murah. Kami mengusulkan harga yang kompetitif, US$ 5-6 per MMBTU," ujar Elisa.
Saat ini ada 76 industri keramik anggota Asaki. Industri dimaksud memproduksi tile, sanitary ware, dan table ware.
Elisa menuturkan, kapasitas produksi tile industri keramik Indonesia saat ini 500 juta meter persegi per tahun, genteng keramik 100 juta buah per tahun, sanitary ware 5,5 juta buah per tahun, dan table ware 28 juta buah per tahun.
Sementara itu, melalui siaran pers Pusat Komunikasi Publik Kementerian Perindustrian, Menperin Saleh Husin, di Warsawa, Polandia, Kamis waktu setempat, menuturkan, kebijakan penetapan harga untuk industri tertentu di dalam negeri diputuskan untuk menggerakkan ekonomi nasional.
"Ini sudah lama kami inginkan, baik oleh Kemenperin maupun pelaku usaha pengguna gas alam, seperti petrokimia, termasuk produsen pupuk, lalu keramik, baja, semen, dan lain-lain," kata Saleh.
Menurut Saleh, harga gas yang lebih kompetitif berdampak langsung pada peningkatan efisiensi, daya saing industri, dan produktivitas industri pengguna gas. Selain itu, harga gas yang lebih kompetitif juga mendongkrak utilitas pabrik-pabrik, memperbanyak lapangan kerja, dan menambah pendapatan negara. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News