Reporter: Leni Wandira | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri logistik nasional diperkirakan tidak akan mencapai target pertumbuhan 10%–15% yang dicanangkan pada awal tahun 2025.
Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) menyebut tekanan daya beli, dinamika global, dan efisiensi belanja pemerintah menjadi faktor utama pelemahan kinerja logistik sepanjang semester I 2025.
"Outlook awal kita targetkan pertumbuhan logistik bisa 10%–15%, karena proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional di atas 5%. Tapi kenyataannya di semester pertama tidak mencapai itu," ujar Mahendra Rianto, Ketua Umum ALI, kepada Kontan, Jumat (8/8).
Menurut Mahendra, penurunan daya beli yang tercermin dari turunnya indeks harga konsumen (IHK) menjadi sinyal utama terhambatnya arus barang dan distribusi di dalam negeri. Hal ini berdampak langsung pada volume pengiriman logistik yang lebih rendah dari ekspektasi.
Baca Juga: Pelindo Solusi Logistik Perkuat Rantai Pasok Green Coke untuk Industri Strategis
“Kalau indeks harga konsumen turun, artinya daya beli turun. Akibatnya pergerakan barang juga jadi tidak selancar seperti rencana awal," jelasnya.
Faktor eksternal seperti konflik geopolitik – termasuk perang Ukraina, ketegangan Iran-Israel, hingga efek kebijakan tarif global seperti Trump Tariff turut menekan rantai pasok bahan baku. Beberapa industri berbasis impor seperti FMCG pun ikut terpukul, yang pada akhirnya berdampak ke sektor logistik.
Ali juga menyoroti kebijakan efisiensi APBN yang menyebabkan perlambatan belanja kementerian dan lembaga di paruh pertama tahun ini. Hal ini dinilai memperlambat aktivitas ekonomi dan distribusi nasional.
“Kita baru tahu bahwa pertumbuhan ekonomi kita sangat tergantung dari realisasi anggaran pemerintah. Ketika pemerintah menahan belanja, dampaknya langsung terasa di lapangan, termasuk di logistik," ujarnya.
Meski sektor logistik secara umum terdampak, Mahendra menyebut beberapa subsektor masih menunjukkan ketahanan, seperti logistik untuk alat kesehatan, produk dairy anak, hingga farmasi dan proyek infrastruktur pemerintah seperti MBG (Mobil Listrik).
"Kalau anggota kita bisa jeli, mereka tetap bisa bertahan. Industri-industri minor seperti farmasi atau alat kesehatan itu masih stabil dan butuh logistik," katanya.
Untuk semester kedua 2025, ALI masih menunggu sinyal pemulihan dari sejumlah indikator, khususnya Indeks Harga Produsen (IHP) dan perbaikan daya beli masyarakat. Penundaan kebijakan ODOL (Over Dimension Over Load) hingga 2027 pun dinilai memberi ruang napas sementara bagi pelaku logistik.
Baca Juga: Kebutuhan Proyek Meningkat, Sany Perluas Dukungan Logistik Alat Berat
“Kita berharap kebijakan ODOL jangan asal diterapkan. Kalau mau diterapkan, biaya logistik yang lain seperti pungli dan kemacetan juga harus dibereskan. Pemerintah harus hadir,” tegas Mahendra.
Meski begitu, ALI mewanti-wanti agar pemerintah lebih berhati-hati dalam menyusun kebijakan yang berdampak pada industri padat karya, karena efeknya bisa menjalar ke seluruh rantai pasok, termasuk logistik.
“Logistik ini enabler. Kalau industrinya goyang, logistik pasti kena. Pemerintah harus lihat secara holistik, jangan sampai niat efisiensi malah mematikan perputaran ekonomi,” pungkas Mahendra.
Selanjutnya: Daftar Biaya Berlangganan EZnet di Setiap Wilayah Indonesia per Agustus 2025
Menarik Dibaca: Simak 3 Langkah Cerdas Mengatur Keuangan Sebelum Terjun ke Dunia Investasi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News