Sumber: Antara | Editor: Havid Vebri
JAKARTA. Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) mengeluhkan kebijakan pemerintah yang secara sepihak menaikkan harga gas pada awal Agustus 2015. Kebijakan itu semakin memberatkan industri pengguna gas.
"Hal ini akan membuat industri yang menggunakan bahan bakar gas sebagai sumber energi dan bahan baku mengalami kesulitan," kata Ketua FIPGB, Achmad Safiun, Selasa (11/8).
Safiun mengatakan, kenaikan harga tersebut tidak sama masing-masing daerah, tetapi yang paling parah terjadi di Sumatra Utara. Pengumuman kenaikan harga gas telah disampaikan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) pada 31 Juli 2015 dan mulai berlaku pada 1 Agustus 2015.
"Hanya selang satu malam harga langsung diumumkan kepada produsen di Sumatra Utara, tanpa ada sosialisasi terlebih dahulu," kata Safiun.
Harga gas baru sebesar Rp 167.600 per mmbtu ditambah Rp 750 per meter kubik atau secara total setara US$ 14,1 per mmbtu, padahal harga sebelumnya hanya US$ 8,7 per mmbtu. "Lumayan tinggi naiknya lebih dari 62%," jelas Safiun.
Menurut Safiun, FIPGB secara resmi telah mengirim surat kepada Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan untuk mengajukan keberatan atas kenaikan harga gas tersebut.
Dari dua surat yang dikirim kepada dua kementerian, baru dari Kementerian Keuangan yang memberikan jawaban. Isinya menyebutkan kenaikan harga gas menjadi kewenangan sepenuhnya kementerian ESDM. Sayangnya, hingga kini belum ada tanggapan dari Kementrian ESDM selaku instansi teknis.
Pemerintah, ungkap Saifun, sebenarnya bisa menurunkan harga gas. Indonesia selama ini menganut harga energi di pasar global. Dengan demikian, jika melihat harga gas di luar negeri yang saat ini sudah turun hingga 50%, maka seharusnya harga gas untuk domestik juga turun.
"Karena harga global turun maka kita menuntut pemerintah dapat menurunkan harga gas," ujar Safiun. Seharusnya harga gas untuk layanan pipa bisa ditekan hingga US$ 5 per mmbtu, sedangkan untuk LNG sekitar US$ 9 per mmbtu.
Safiun membandingkan dengan Malaysia dan Singapura yang memiliki infrastruktur dan layanan gas lebih baik, tetapi harga jual gas kepada industri di dalam negerinya hanya setengah dari harga di Indonesia.
"Mereka bisa menjual harga gas lebih murah karena harganya disubsidi oleh pemerintah. Seharusnya pemerintah kita juga memperhatikan hal tersebut," ujar Safiun.
Dampak dari kebijakan pemerintah ini sudah jelas industri di dalam negeri semakin sulit bersaing di luar negeri. Apalagi Indonesia sebentar lagi akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Menurut Saifun, penggunaan gas sebagai bahan bakar/sumber energi memberikan kontribusi 10-15% terhadap biaya produksi. Sedangkan kontribusi gas sebagai bahan baku terhadap biaya produksi bisa mencapai 80%. "Jelas ini akan mematikan industri di dalam negeri," ujar dia.
Ada banyak sektor industri penggunas gas yang terkena dampak kenaikan harga gas ini. Antara lain industri keramik, kaca lembaran, pupuk, pengecoran logam, tekstil, pulp dan kertas, semen, baja, otomotif, petrokimia, PLN dan sejumlah industri manufaktur lainnya.
"Mereka semua akan terkena imbas oleh tingginya harga gas industri. Terlebih saat ini permintaan pasar tengah turun akibat perlambatan ekonomi global dan nasional," keluh Safiun.
Hal senada juga dikemukakan Sekjen Indonesian Olefin & Plastic Industry Association (INAPlas) Fajar Budiyono. Menurutnya, bila melihat tren dunia seharusnya harga gas turun, tetapi mengapa justru di Indonesia naik.
Dia juga mempertanyakan mengapa Malaysia dan Singapura dapat menjual kepada pelanggan industri dengan harga hanya separuhnya, padahal kedua negara itu membeli gas dari Indonesia.
Fajar mengatakan harga gas sebesar US$ 9-US$ 10 per mmbtu jelas sangat memberatkan kalangan industri. Idealnya agar industri di dalam negeri tetap dapat berproduksi, maka harga gas harus di bawah US$ 7 per mmbtu.
Fajar mengatakan, bagi industri plastik, gas memberikan kontribusi terhadap biaya produksi sebesar 5-10%. Beberapa produsen akan mengambil bahan bakar pengganti (subtitusi) apabila harga gas tetap seperti sekarang ini. "Apalagi harga bahan bakar jenis solar saat ini justru turun dari Rp 12.000 menjadi hanya Rp 9.000 saja," ujar Fajar.
Terkait kenaikan harga gas tersebut, Fajar mengatakan INAPlas juga telah mengajukan keberatan kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News