Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Mahalnya harga gas dinilai sebagai indikator yang membuat industri dalam negeri tidak siap hadapi persaingan menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Harga gas bumi melalui proses regasifikasi masih US$ 17 sampai US$ 18 per MMBTU.
Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIGB) Achmad Safiun mengatakan, industri logam, pertokimia, keramik, dan kaca harus mengalami penurunan produksi. Jumlahnya cukup besar, mencapai 30% sampai 50% gara-gara mahalnya harga gas. ’’Jelas berdampak pada penghasilan devisa negara dan neraca berjalan,’’ ujarnya, di Kantor Kementerian Perindustrian, Selasa (31/3).
Untuk menyelamatkan industri Indonesia, perlu segera dilakukan penurunan harga gas. Dia menyebut, harga ideal gas bumi tanpa melalui proses regasifikasi harusnya US$ 5 per MMBTU. Harga Liquifed Natural Gas (LNG) di Jakarta dan Arun yang saat ini masih US$ 17 - US$ 18 per MMBTU juga pertlu diturunkan jadi US$ 7 - US$ 8 per MMBTU
’’Semua harga dan pembayaran di dalam negeri harus dilakukan dalam bentuk rupiah,’’ terangnya. Sehingga, kurs rupiah yang tidak menentu saat ini tidak berpengaruh pada pembelian gas. Muaranya, mendorong pengembangan sektor manufaktur supaya tetap dinamis dalam transformasi struktural perekonomian Indonesia.
Harga gas yang rendah bisa menahan investor lari dari Indonesia. Apalagi, saat ini Malaysia maupun Singapura sudah menawarkan harga energi yang lebih rendah. Dia berharap pemerintah memperhatikan usulan itu, karena dengan industri manufaktur Indonesia bisa terhindar dari middle income trap.
’’Usulan sudah kami pikirkan matang. Kalau lebih dari itu (US$ 5 per MMBTU), melawan negara tetangga saja susah,’’ urainya. Menurut Safiun, harga gas di Malaysia saat ini USD 5 per MMBTU. Di Singapura juga tidak jauh berbeda meski mengambil dari Indonesia cukup mahal. Tetapi, pemerintah menjual ke industri dengan harga yang murah.
Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian Harjanto mengakui, mahalnya harga gas membuat industri lokal sulit berkembang. Apalagi, di negara tetangga harga gas yang dijual untuk sektor energi sangat murah bila dibanding Indonesia. ’’Industri keramik misalnya, bagaimana bisa bersaing kalau 35% habis di energi,’’ jelasnya.
Sebenarnya, pihaknya sempat mengusulkan penguatan industri dengan mengusulkan mayoritas pasokan gas untuk industri. Itu mirip dengan di negara-negara lain yang mengutamakan penggunaan gas untuk industri. Tetapi, ternyata di Indonesia tidak bisa dilakukan, malah pasokan gas ada yang dijual ke luar negeri.
Lebih lanjut, dia menjelaskan, soal penurunan harga dia tidak bisa menjanjikan apapun untuk saat ini. Kemungkinan turunnya harga gas terbuka lebar, tetapi dia ingin ada kajian terlebih dahulu. Yang pasti, dia siap memberikan dukungan terhadap sektor energi gas untuk meningkatkan daya saing industri nasional.
’’Perlu dilihat cost and benefit dari harga gas yang akan ditetapkan. Kalau turun, perlu dibuktikan benefit yang akan diperoleh,’’ jelasnya. Saat ini, kajian sudah dilakukan oleh Kemenko Perekonomian, Kementerian Perindustrian, Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Dia menyebut kajian itu sudah akan selesai. Tetapi, belum akan disampaikan terlebih dahulu karena menunggu hasil kajian harga listrik. Harjanto menyebut, nanti hasilnya akan disampaikan dalam satu paket. ’’Jadi, bisa meningkatkan daya saing produk manufaktur, meningkatkan ekspor produk manufaktur dan mendorong stabilnya nilai tukar,’’ terangnya.
Terpisah, Kepala Dinas Perencanaan Pemasaran PGN, Sheila Merlianty mengatakan, harga gas bisa ditekan berapapun yang dimau. Asalkan komponen pembentuk harga gas juga diturunkan. Seperti diketahui, komponen itu ada yang ditentukan oleh pemerintah. ’’Dari hulu, sampai toll fee sudah ditentukan. Kalau pemerintah sudah mengubah, tidak masalah,’’ jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News