kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.499.000   -40.000   -2,60%
  • USD/IDR 15.935   -60,00   -0,38%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Industri tekstil masih dibayangi berbagai tantangan


Kamis, 25 Maret 2021 / 18:53 WIB
Industri tekstil masih dibayangi berbagai tantangan
ILUSTRASI. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri tampak masih tertatih-tatih langkahnya menghadapi tantangan di masa pandemi.


Reporter: Dimas Andi | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri tampak masih tertatih-tatih langkahnya menghadapi tantangan di masa pandemi Covid-19. Padahal, industri ini dipandang memiliki peran penting dalam perekonomian nasional.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menyampaikan, industri tekstil mulai merasakan dampak pandemi Covid-19 sejak kuartal II-2020 seiring anjloknya utilisasi pabrik di sektor tersebut hingga 30% akibat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan penurunan daya beli masyarakat.

Kemudian, utilisasi di industri tekstil mulai meningkat menjadi 50% pada kuartal III-2020 dan 70% pada kuartal III-2020. “Meski daya beli masyarakat saat itu belum pulih, namun dilakukan pengetatan izin impor oleh pemerintah sehingga utilitas naik,” ujar dia, Kamis (25/3).

Baca Juga: Menilik strategi pelaku industri garmen menggarap momentum lebaran tahun ini

Memasuki kuartal I-2021, utilisasi industri tekstil semakin membaik lantaran mencapai level 80%. Namun, tantangan berbeda justru hadir berupa membanjirnya kain-kain impor ilegal lewat kapal tongkang dan maraknya perederan pakaian jadi impor yang dijual lewat toko online atau e-commerce.

Padahal, di periode yang sama, harga minyak mentah dunia sedang merangkak naik sehingga harga baku tekstil seperti paraxylene (PX), purified terephtalic acid (PTA), methyl ethylene glycol (MEG), pulp rayon, hingga kapas juga ikut membengkak. Kondisi ini tentu mengerek harga benang, kain, dan pakain jadi yang dijual di pasar. “Alhasil, industri TPT dari hulu ke hilir saat ini tengah resah,” imbuh Redma.

Menurutnya, pasar ekspor tekstil untuk beberapa kategori produk sebenarnya masih bisa dimanfaatkan oleh pemain Indonesia. Hanya memang, harus diakui bahwa permintaan ekspor tidak sekuat dibanding tahun-tahun sebelum pandemi.

Untuk saat ini, APSyFI sangat mengkhawatirkan maraknya impor produk pakaian jadi berharga murah karena langsung berdampak negatif bagi pelaku Industri Kecil Menengah (IKM). Padahal, IKM disebut sebagai ujung tombak dari rantai industri TPT di dalam negeri. “Pakaian jadi murah impor saat ini sudah menumpuk di gudang-gudang Indonesia dan siap edar melalui platform online,” kata Redma.

APSyFI pun menilai sektor TPT sebenarnya tidak memerlukan banyak insentif. Namun, asosiasi ini meminta adanya prioritas berupa jaminan pasar domestik. Dalam hal ini, pemerintah didesak untuk segera memberlakukan penerapan safeguard atau tindakan pengamanan terhadap maraknya produk tekstil impor, terutama pakaian jadi. Sebab, selain IKM, para pelaku usaha tekstil lainnya pasti akan dirugikan oleh masalah tersebut.

“Kami perlu kebijakan perdagangan yang pro industri dalam negeri, bukan kebijakan perdagangan yang pro barang impor,” kata Redma.

Dia juga mengaku, dengan adanya serangkaian kondisi yang kurang mendukung saat ini, pihaknya masih perlu menghitung ulang proyeksi pertumbuhan industri tekstil di 2021 dan seterusnya.

Baca Juga: Pelaku industri garmen meramu strategi untuk menggarap momentum lebaran tahun ini

Salah satu pelaku industri tekstil, PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLY) juga turut merasakan tantangan yang mendera industri tersebut. Masa-masa tersulit sempat dialami oleh perusahaan ini sejak Februari hingga Juli 2020 lalu tatkala pandemi Covid-19 membuat seluruh dunia mengerem kegiatan ekonominya.

Sesudah itu, bisnis POLY sebenarnya mulai membaik. Namun, emiten ini kembali menghadapi tantangan berupa naiknya harga bahan baku tekstil seiring melonjaknya harga minyak dunia di awal 2021. Dalam kondisi ini pun perusahaan tersebut tidak bisa leluasa menaikkan harga jual produknya.

“Harga bahan baku rata-rata naik 30%, tapi kami tidak naikkan harga setinggi itu, meski harus mengorbankan marjin. Kami paham kondisi dalam negeri belum pulih benar,” tutur Head of Corporate Communications and Public Relations POLY Prama Yudha Amdan, Kamis (25/3).

Baca Juga: Pemerintah dorong pengembangan produk benang serat sintetis fungsional

Manajemen POLY memilih fokus mempersiapkan diri menyambut momentum bulan puasa dan Lebaran. Di momen tersebut, permintaan terhadap produk TPT biasanya akan meningkat terlepas masih berlangsungnya pandemi Covid-19. Lantas, POLY masih menargetkan pendapatan sebesar US$ 350 juta pada tahun 2021.

“Kami fokus untuk mengedepankan produk bernilai tambah yang melebihi komoditas,” ujar Prama.

Dia juga berharap di tengah tantangan harga bahan baku yang meninggi, terdapat insentif tambahan yang diberikan oleh pemerintah untuk industri tekstil, misalnya terkait kemudahan tagihan listrik ataupun logistik.

Sementara itu, Sekretaris Perusahaan PT Pan Brothers Tbk (PBRX) Iswardeni menyebut, pandemi Covid-19 tentu menekan segala sektor industri, termasuk tekstil. Apalagi, lebih dari 95% pendapatan PBRX berasal dari ekspor garmen. Namun, ia mengaku saat ini penjualan ekspor PBRX sudah kembali normal.

“Pembeli sudah menempatkan order seperti sebelum pandemi. Bahan baku juga tidak menjadi masalah,” ujarnya.

Dukungan tim pengembangan produk yang solid dinilai membuat PBRX selalu siap beberapa langka di depan. Perusahaan ini juga mengutamakan inovasi, keunggulan kualitas, dan kecepatan pengiriman untuk mendongkrak penjualan.

Iswardeni berpendapat, pelaku industri tekstil saat ini membutuhkan insentif untuk mendorong pertumbuhan kinerja. Salah satunya berupa fleksibulitas pemberian pinjaman modal kerja dengan spread suku bunga yang diatur dalam rentang tertentu dari tingkat suku bunga Bank Indonesia (BI).

Adapun Direktur Independen PT Eratex Djaja Tbk (ERTX) Mandeep Singh menyampaikan, pandemi Covid-19 sempat membuat pihaknya kesulitan menjual produk ke berbagai tempat seperti mal atau pusat perbelanjaan lainnya. Beberapa negara yang menjadi tujuan ekspor ERTX juga melakukan karantina wilayah sehingga tidak bisa diakses.

“Terjadi lockdown di AS dan Jepang yang merupakan negara ekspor utama kami, sehingga permintaan turun,” imbuh dia dikutip dari risalah paparan publik ERTX, 27 Maret 2021.

Kendati begitu, berkat diversifikasi produk seperti celana pendek, celana panjang, denim, chino, dan sebagainya, ERTX masih bisa bertahan di tengah berbagai kesulitan hingga saat ini. Alhasil, ERTX optimistis mampu mencapai target pertumbuhan penjualan 10% di tahun 2021.

Selanjutnya: Sejumlah emiten mengajukan perpanjangan jatuh tempo utang

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×