Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Dampak dari kenaikan indeks manufaktur Indonesia belum sepenuhnya dirasakan oleh industri tekstil dan produk tekstil (TPT).
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengatakan, salah satu penyebabnya adalah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) terkait pengaturan impor yang baru akan berlaku efektif akhir Agustus 2025.
Asal tahu saja, Indeks PMI Manufaktur Indonesia dari lembaga rating S&P Global pada bulan Juli 2025 berada di level 49,2. Level tersebut naik dari posisi 46,9 pada bulan Juni 2025.
Namun begitu, indeks PMI Manufaktur Indonesia tersebut masih berada di bawa zona netral 50, alias mengalami kontraksi dan belum berhasil keluar sejak April 2025.
Pun, Government Relation API Geraldi Halomoan bilang, peningkatan indeks PMI Manufaktur Indonesia di bulan Juli ini tak turut dirasakan pengusaha tekstil.
Baca Juga: PMI Manufaktur Indonesia Masih di Zona Kontraksi, Bisnis Tekstil Masih Lesu
“Dampaknya terhadap peningkatan produksi belum terlihat pada Juli, sehingga pelaku industri masih belum merasakan kenaikan signifikan dalam volume produksi maupun penjualan,” ujar Geraldi kepada Kontan, Jumat (8/8/2025). .
Geraldi menilai, kondisi pasar domestik selama bulan Juli masih stagnan. Lemahnya daya beli konsumen serta belum pulihnya pasar menjadi faktor utama penahan permintaan. Dalam situasi ini, pelaku industri cenderung berhati-hati menambah kapasitas produksi sambil menunggu kepastian efektivitas kebijakan baru.
Dari sisi ekspor pun sama saja, dengan kinerja yang belum membaik.
Geraldi bilang, sepanjang kuartal I-2025, ekspor TPT Indonesia turun 15,78% secara tahunan (YoY). Penurunan terjadi pada pasar utama seperti Amerika Serikat (AS) sebesar 11,10% dan Uni Eropa sebesar 17,45%.
Di tengah tekanan permintaan, Geraldi bilang industri masih dibebani tingginya biaya produksi. Meski tarif listrik industri relatif kompetitif, adanya skema tarif waktu beban puncak (WBP) dan luar waktu beban puncak (LWBP) menciptakan ketidakpastian biaya.
Baca Juga: Tarif Impor 19% AS Berlaku, Ekspor Tekstil Berpotensi Menurun
Selain itu, keterbatasan infrastruktur energi, misal seperti belum tersedianya jaringan pipa gas di sentra industri tekstil Bandung Raya dan Solo Raya, memaksa industri bergantung pada batu bara yang tidak ramah pasar ekspor Eropa. Bahkan di daerah yang memiliki infrastruktur gas, harga gas industri yang tinggi tetap menjadi kendala.
API memandang prospek industri TPT hingga akhir tahun masih dibayangi tantangan, mulai dari ketidakpastian permintaan, lemahnya konsumsi domestik, hingga tingginya biaya produksi.
“Kami berharap ada sinkronisasi kebijakan lintas kementerian, idealnya diatur dalam kerangka hukum lebih kuat seperti Undang-Undang Sandang atau Pertekstilan, serta percepatan implementasi aturan impor agar dampak positifnya terasa di lapangan,” pungkasnya.
Selanjutnya: Net Sell Asing Terbesar, Dominasi Saham Bank di Bursa Menyusut?
Menarik Dibaca: 7 Pilihan Meja Kopi Stylish untuk Mempercantik Ruang Tamu Anda
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News