Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
Oleh sebab itu, meski saat ini aktivitas pertambangan sudah mulai normal seiring dibukanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di beberapa wilayah pertambangan, tapi sejumlah perusahaan bijih nikel masih menahan penjualan ke smelter lokal.
"Karena smelter lokal tetap tidak mau melakukan kontrak dengan harga yang ditetapkan pemerintah melalui Permen ESDM No.11 tahun 2020 tentang HPM," jelas Meidy.
Selain itu, harga nikel di pasar global berada di tren yang menanjak. Mengacu pada London Metal Exchange (LME), harga nikel sempat anjlok karena pandemi virus corona, dari sekitar US$ 14.000 per ton di awal tahun, menjadi US$ 11.000 per ton pada Maret dan April.
Baca Juga: Beban membengkak, Timah (TINS) cetak rugi bersih Rp 412,85 miliar di kuartal I-2020
Sejalan dengan penanganan Covid-19 dan mulai bergeraknya ekonomi, harga nikel pun perlahan naik hingga di level US$ 12.000 per ton. Pada Selasa (22/6), harga nikel di LME berada US$ 12.855 per ton. "Perkiraan kami bijih nikel akan merangkak naik di atas bulan Juli, di angka US$ 14.000," ujar Meidy.
Kondisi itu juga ikut mendasari APNI untuk meminta keran ekspor bijih nikel dibuka kembali. Meidy mengungkapkan, saat ini bijih nikel kadar rendah 1,6% di pasar internasional berada di kisaran US$ 45 per wmt secara FOB.