Sumber: Kompas.com | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Pemerintah menegaskan kewajiban bentuk usaha tetap bagi penyedia layanan aplikasi atau konten melalui internet mampu memberikan dampak positif pada pengguna. Dampak yang diharapkan berupa layanan konsumen dan perlindungan data privasi.
Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Taufik Hasan kepada Kompas, Jumat (8/4), di Jakarta, menyampaikan, Surat Edaran (SE) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan atau Konten Melalui Internet (over-the-top/OTT) mewajibkan kehadiran di wilayah lokal melalui bentuk usaha tetap (BUT). Penekanan harus dilihat sebagai bagian memberikan akses layanan perlindungan konsumen.
"Jadi, bukan hanya soal pungutan pajak. Kehadiran kantor lokal perusahaan OTT asing juga mewajibkan mereka mengikuti regulasi yang berlaku, seperti pornografi dan sensor film. Dengan demikian, ada kesetaraan kompetisi industri dan perlindungan layanan konsumen sekaligus," kata Taufik.
Kepala Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat Kementerian Komunikasi dan Informatika Ismail Cawidu menyampaikan hal yang sama. Melalui SE itu, pemerintah menginginkan adanya perlindungan privasi data pengguna.
"Data itu aman dan tidak disalahgunakan pemilik OTT asing, seperti penjualan data ke perusahaan lain," katanya.
Pengurus Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Teguh Prasetya berpendapat, SE No 3/ 2016 akan semakin memudahkan pemerintah melakukan pengawasan dan penindakan terhadap industri konten.
Sejalan dengan itu, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan akan mengaudit transaksi wajib pajak PT Google Indonesia, PT Yahoo Indonesia, Facebook Singapore PTE LTD, dan Twitter Asia Pasific PTE LTD. Keempat perusahaan raksasa teknologi itu terindikasi mengemplang pajak.
Dari perspektif bisnis, Ketua Asosiasi Digital Indonesia (IDA) Edi Taslim berpendapat, kebijakan pemerintah itu tidak akan langsung menjadikan posisi keempat perusahaan itu dan perusahaan OTT asing lain melemah. Kekuatan mereka cukup dominan di Indonesia. Google ataupun Facebook, misalnya, sudah mendominasi 70-80 persen pangsa iklan di banyak negara.
"Teknologi dan model bisnis mereka yang kuat. Mereka mengubah cara dan jual beli iklan digital. Tarif metrik periklanan murah, tetapi volume tinggi," kata Edi.
Vice President Marketing Elevenia Madeleine Ong de Guzman, di sela-sela peluncuran platform Mobile Kado (MOKADO), menyebutkan, 70 persen alokasi dana pemasaran Elevenia diarahkan iklan digital, seperti Google Ads, Facebook, dan Twitter. Metode beriklan itu mampu menjangkau lebih banyak konsumen yang aktif berinternet.
Cahyandaru Kuncorojati (25), pekerja industri media, mengaku, upaya pemerintah tersebut tidak berdampak langsung kepada pengguna individu seperti dirinya. Dia aktif menggunakan media sosial, antara lain Facebook, Twitter, Path, dan Instagram. Dia memiliki sejumlah akun di produk Google.
"Jika pemerintah benar tegas meminta perusahaan OTT asing mendirikan BUT di Indonesia, saya pikir akan ada pungutan biaya berlangganan aplikasi mereka. Selama ini, kan, masih gratis, sedangkan pengguna hanya dibebankan biaya paket data. Jadi, beban pelanggan berlipat, yakni berlangganan layanan seluler dan aplikasi," kata Cahyandaru. (penulis: Reza Wahyudi)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News