Reporter: Dimas Andi | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kelangkaan minyak goreng masih terus terjadi yang diperparah oleh aksi penimbunan produk tersebut, sehingga membuat masyarakat makin resah. Pemerintah pun harus membuktikan kredibilitasnya dalam mengatasi persoalan minyak goreng ini.
Sekadar informasi, baru-baru ini Satgas Pangan Polri menemukan tumpukan stok minyak goreng di gudang milik perusahaan besar, PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) dan PT Sinar Mas Agro Resources & Technology Tbk (SMAR). Temuan ini setelah Satgas melakukan sidak di Deli Serdang dan Makassar.
Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, jika dugaan penimbunan minyak goreng itu benar dan valid, maka harus ada sanksi yang tegas dan tidak pandang bulu.
Hal tersebut untuk memberikan shock teraphy bagi para pelaku usaha minyak goreng bahwa mereka tidak bisa bertindak sembarangan, mengingat sampai saat ini minyak goreng masih langka di toko-toko ritel maupun pasar tradisional.
“Kalaupun ada, harganya pasti mahal. Itu merugikan sekali bagi masyarakat,” imbuh dia, Rabu (23/2) malam.
Baca Juga: Sinar Mas Agro (SMAR) Tepis Dugaan Penyalahgunaan Stok Minyak Goreng di Makassar
Bhima menilai, sejauh intervensi pemerintah terhadap produk minyak goreng justru membingungkan. Ini terlihat dari kebijakan subsidi satu harga yang dicabut kemudian diganti menjadi kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng. Yang terjadi sekarang, minyak goreng malah sulit ditemukan di mana-mana.
Para pedagang pun terjebak dalam kondisi dilema. Ketika menjual stok minyak goreng lama dengan HET, maka pedagang akan rugi. Tetapi, jika stok lama tersebut dijual dengan harga di atas HET, dikhawatirkan pedagang yang bersangkutan akan kena sidak dari Satgas Pangan Polri.
Persoalan kian pelik lantaran rantai distribusi minyak goreng tidak dikuasai oleh perusahaan BUMN maupun pemerintah secara langsung. Dominasi perusahaan swasta begitu kuat dalam industri minyak goreng.
Kendati demikian, bukan berarti pemerintah tidak bisa berperan. Biar bagaimanapun sebagian besar perkebunan milik perusahaan sawit yang turut memproduksi minyak goreng berada berstatus Hak Guna Usaha (HGU).
Rekomendasi izin ekspor CPO juga dikeluarkan oleh pemerintah. Di samping itu, sebagai negara hukum, pemerintah tentu memiliki kuasa untuk menegakkan peraturan di industri minyak goreng.
Baca Juga: Kemendag Minta Pedagang di E-Commerce Cabut Iklan Jualan Minyak Goreng di Atas HET
Bhima menyarankan, pemerintah dapat membeli minyak goreng yang menjadi stok lama di pedagang dengan harga normal, kemudian menjualnya kembali dengan skema HET. Dengan begitu, pedagang tidak merasa dirugikan. Selanjutnya, barulah para pedagang tersebut wajib menjual stok baru minyak goreng dengan harga sesuai HET kepada konsumen.
Sementara itu, untuk memperbaiki rantai distribusi minyak goreng harus diakui butuh waktu yang tidak sebentar. Setidaknya harus dibongkar terlebih dahulu struktur produsen minyak goreng di Indonesia yang dinilai terlalu oligopoli. Sebab, mayoritas pangsa pasar minyak goreng Tanah Air hanya dikuasai oleh beberapa produsen besar saja.
“Harus dilakukan break up. Tidak boleh itu penguasaan tertinggi pasar yang terlalu besar. Jadi, perlu dipisah ke perusahaan-perusahaan kecil yang tidak terafiliasi agar pasar tidak dikuasai oleh kelompok pemain besar saja,” ungkap Bhima.
Ketika tidak banyak kelompok pelaku usaha yang mendominasi pasar, maka mekanisme pasar minyak goreng menjadi lebih adil, terutama bagi konsumen akhir.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News