Reporter: Ahmad Febrian | Editor: Ahmad Febrian
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kualitas internet di Indonesia seringkali mendapat keluhan. Keluhan itu seiring laporan Speedtest Global Index Ookla pada Juli 2023, Indonesia menduduki peringkat ke-96 dari 143 negara di dunia pada kategori internet mobile.
Ridwan Efendi, Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) mengatakan, ada tiga langkah agar internet di Indonesia dapat melesat kencang. Ketiganya adalah menambah jumlah kerapatan BTS, menambah jumlah frekuensi operator dan menerapkan teknologi baru.
Menambah jumlah kerapatan BTS di kota besar sudah dilakukan semua operator seluler. Meski demikian kecepata belum optimal. Sehingga pemerintah perlu mempertimbangkan penambahan frekuensi bagi operator selular. Namun frekuensi merupakan sumber daya terbatas, tak mudah juga untuk menambah frekuensi yang dimiliki operator telekomunikasi.
"Tiga tahun terakhir, lelang frekuensi yang dilakukan pemerintah sangat minim. Sehingga saat ini pilihannya tinggal menerapkan teknologi baru agar internet dapat ngebut. Saat ini teknologi terbaru yang tersedia adalah 5G,” kata Ridwan, Rabu (1/11)
Saat ini frekuensi yang tersedia berada di Indonesia berada di 700 Mhz dengan lebar pita 2 x 45Mhz dan 26Ghz dengan lebar pita 2.000 Mhz. Agar kecepatan 5G optimal, menurut Ridwan idealnya lelang frekuensi 700 Mhz hanya untuk satu operator.
Dengan adanya UU Cipta Kerja, nantinya operator seluler dapat menyewa kapasitas yang dimiliki oleh operator pemenang lelang frekuensi 5G. Sedangkan frekuensi 26 Ghz bisa untuk banyak operator karena lebar pita yang besar. Namun frekuensi tersebut untuk kapasitas saja.
Baca Juga: Mengoptimalkan PNBP sektor telekomunikasi, pemerintah bisa lakukan dua cara ini
“Agar masyarakat bisa mendapatkan kecepatan 5G yang optimal, idealnya pemenang lelang frekuensi 700 Mhz hanya satu operator. Tentunya bisa untuk operator yang memiliki komitmen membangun yang kuat, punya belanja modal (capex) yang cukup untuk menggelar layanan 5G dan jaringan fiber di mana-mana," imbuh Ridwan.
Jika pemerintah tetap menerapkan Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi dengan metode lelang seperti yang saat ini berlaku, padahal kebutuhan frekuensi sangat besar untuk teknologi baru, Ridwan memperkirakan tak ada satu operator selular yang sanggup membayar.
Menurutnya, beberapa negara sudah memberikan insentif pembebasan BHP frekuensi untuk kurun waktu tertentu. Insentif tersebut diberikan untuk operator yang akan menerapkan teknologi baru. China misalnya, memberikan insentif pembebasan BHP untuk waktu empat tahun.
"Pemberian insentif selain karena objektifnya pemerintah, alasan lain agar operator memiliki kemampuan finansial untuk meningkatkan kualitas layanannya dan mampu mengadopsi teknologi telekomunikasi baru. Harapannya penggelaran teknologi baru akan semakin cepat,” terang Ridwan.
Dengan diberikan insentif pembebasan BHP frekuensi, operator selular nanti memiliki keleluasaan capex. Dengan keleluasaan ini mereka memiliki kemampuan untuk membangun serta meningkatkan kualitas internet di Indonesia. Memang pemberian insentif ini bisa diberikan untuk frekuensi yang baru. Namun jika objektif pemerintah untuk meningkatkan kualitas internet, Ridwan menyarankan insentif besar harus diberikan ke operator telekomunikasi yang ingin mengembangkan teknologi baru.
“Insentif BHP frekuensi biusa diberikan kepada operator yang mengembangkan teknologi baru guna mendukung program pemerintah dalam meningkatkan kualitas internet," kata Ridwan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News