Reporter: Dimas Andi | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau Omnibus Law turut berdampak pada dunia usaha pertambangan batubara Indonesia. Sebab, produsen batubara dalam negeri berpeluang memperoleh insentif pembebasan royalti untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batubara.
Mengutip materi UU Cipta Kerja yang diterima Kontan, dalam pasal 39, beleid ini mengubah beberapa ketentuan dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara maupun perubahannya yaitu UU No. 3 Tahun 2020.
Salah satu bentuk perubahannya adalah disisipkannya satu pasal baru yakni Pasal 128A di antara Pasal 128 dan 129.
Dalam ayat (1) Pasal 128A, dijelaskan bahwa pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batubara dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara. Kemudian, di ayat (2), perlakuan tertentu tersebut dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0%. Adapun di ayat (3) dijelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut terkait perlakuan tertentu tadi diatur dengan peraturan pemerintah.
Baca Juga: Apindo: Omnibus law merupakan hasil kerja sama dari berbagai pihak
Pengamat Hukum Pertambangan dari Universitas Tarumanegara Ahmad Redi mengatakan, pasal 128A tersebut merupakan pasal yang positif. Ini mengingat pengaturan terkait insentif bagi kegiatan peningkatan nilai tambah batubara belum terdapat dengan jelas baik di UU No. 4/2009 maupun UU No. 3/2020.
“Sejauh ini pengaturan insentif baru bicara soal mineral, sedangkan batubara belum diatur,” ujar Redi kepada Kontan.co.id, Selasa (6/10).
Selain itu, pemberian royalti 0% jelas dibutuhkan karena peningkatan nilai tambah batubara punya urgensi yang kuat untuk segera dilakukan. Pasalnya, selama ini Indonesia terkesan hanya mengeruk dan menjual batubara saja ke berbagai wilayah, termasuk ke luar negeri, tanpa ada pengolahan lebih lanjut.
Padahal, peningkatan nilai tambah batubara sangat erat kaitannya dengan ketahanan energi yang mana komoditas tersebut berasal dari sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui.
“Kalau batubara bisa ditingkatkan nilai tambahnya, maka akan mengurangi degradasi sumber daya alam sekaligus memenuhi kebutuhan industri tertentu,” kata dia.
Insentif royalti tersebut juga terbilang adil bagi pelaku usaha karena biar bagaimanapun investasi di bidang peningkatan nilai tambah atau hilirisasi batubara tentu tidak murah. Teknologi dan infrastrukturnya pun belum tentu bisa dipenuhi di dalam negeri. Ada juga risiko berupa belum tumbuhnya pasar produk-produk hilir batubara di Indonesia.
Baca Juga: Hipmi meminta aturan teknis omnibus law cepat dirilis
Kendati demikian, Redi mengkritisi pemilihan diksi “dapat” yang tertera di penyisipan Pasal 128A ayat (1) dan (2) tadi. Menurutnya, diksi tersebut terkesan bahwa pembebasan royalti bagi pelaku usaha masih abstrak dan bahkan menimbulkan ketidakpastian.
Bisa saja, pemerintah benar-benar merealisasikan royalti 0% tadi bagi pelaku usaha yang aktif di kegiatan hilirisasi batubara. Atau justru pemerintah malah tetap memberikan beban royalti sekian persen bagi pelaku usaha yang bersangkutan. “Mungkin saja royalti tetap ada karena pemerintah mempertimbangkan aspek tertentu seperti situasi dan kondisi ekonomi nasional,” ungkap dia.
Oleh karena itu, Redi berujar, masalah tafsir atas kata “dapat” tadi perlu diselesaikan secara tuntas dan tegas di dalam aturan pelaksana UU Cipta Kerja, baik berupa PP, peraturan menteri terkait, dan sebagainya.
Dia juga mengingatkan pemerintah supaya benar-benar optimal dalam menyusun aturan pelaksana tersebut, termasuk implementasinya ketika beleid tersebut sudah diterbitkan. Pasalnya, hal ini akan berdampak terhadap tingkat kepercayaan pelaku usaha yang hendak berinvestasi di sektor batubara di Indonesia.
“Pemerintah harus punya bargaining position yang kuat, karena batubara sebagai sumber daya alam hanya bisa didapat dari perut bumi Indonesia. Beda dengan industri lain seperti manufaktur yang mana pelaku usaha bisa pindah-pindah tempat tergantung kondisi birokrasi setempat,” imbuh Redi.
Selanjutnya: UGM : UU Cipta Kerja liberal kapitalistik, mengutamakan sumber daya ekstraktif
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News