Reporter: Dimas Andi | Editor: Khomarul Hidayat
Kendati demikian, Redi mengkritisi pemilihan diksi “dapat” yang tertera di penyisipan Pasal 128A ayat (1) dan (2) tadi. Menurutnya, diksi tersebut terkesan bahwa pembebasan royalti bagi pelaku usaha masih abstrak dan bahkan menimbulkan ketidakpastian.
Bisa saja, pemerintah benar-benar merealisasikan royalti 0% tadi bagi pelaku usaha yang aktif di kegiatan hilirisasi batubara. Atau justru pemerintah malah tetap memberikan beban royalti sekian persen bagi pelaku usaha yang bersangkutan. “Mungkin saja royalti tetap ada karena pemerintah mempertimbangkan aspek tertentu seperti situasi dan kondisi ekonomi nasional,” ungkap dia.
Oleh karena itu, Redi berujar, masalah tafsir atas kata “dapat” tadi perlu diselesaikan secara tuntas dan tegas di dalam aturan pelaksana UU Cipta Kerja, baik berupa PP, peraturan menteri terkait, dan sebagainya.
Dia juga mengingatkan pemerintah supaya benar-benar optimal dalam menyusun aturan pelaksana tersebut, termasuk implementasinya ketika beleid tersebut sudah diterbitkan. Pasalnya, hal ini akan berdampak terhadap tingkat kepercayaan pelaku usaha yang hendak berinvestasi di sektor batubara di Indonesia.
“Pemerintah harus punya bargaining position yang kuat, karena batubara sebagai sumber daya alam hanya bisa didapat dari perut bumi Indonesia. Beda dengan industri lain seperti manufaktur yang mana pelaku usaha bisa pindah-pindah tempat tergantung kondisi birokrasi setempat,” imbuh Redi.
Selanjutnya: UGM : UU Cipta Kerja liberal kapitalistik, mengutamakan sumber daya ekstraktif
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News