Reporter: Ahmad Febrian, Vendy Yhulia Susanto | Editor: Ahmad Febrian
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kabar masuknya Starlink terus bergulir. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan, investasi Starlink di Indonesia Rp 30 miliar dan tenaga kerja yang terdaftar 3 orang.
Sementara Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Septian Hario Seto beralasan, pihaknya melihat Starlink tentunya bukan hanya dari aspek investasi. Juga kebermanfaatan bagi masyarakat Indonesia, terutama untuk memberikan layanan internet yang baik bagi lokasi-lokasi terpencil yang belum terjangkau.
Seperti puskesmas-puskesmas di wilayah terpencil yang rencananya akan menggunakan Starlink supaya bisa memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik. "Yang paling penting adalah Starlink mematuhi regulasi dan kewajiban kepada pemerintah sama seperti yang lain," ujar Septian kepada Kontan, Kamis (13/6).
Terkait jumlah tersebut, Trubus Rahardiansah, pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti menjelaskan, modal Starlink untuk melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi layanan tertutup (jartup) VSAT dan izin penyelenggara jasa internet (ISP) tak masuk akal.
“Apa iya modal sebesar itu cukup untuk membangun usaha jartup VSAT dan ISP? Industri telekomunikasi memiliki karakteristik capex dan biaya yang tinggi. Apakah masuk akal karyawan yang dibutuhkan hanya 3 orang. Menurut saya itu sangat tidak mungkin,” kata Trubus, dalam keterangannya, Jumat (14/6).
Minimnya investasi Starlink membuat Trubus mempertanyakan efektifitas kunjugan Presiden Joko Widodo dan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan ketika bertemu Elon Musk di Amerika. Apalagi investasi Tesla di Indonesia tak kunjung terwujud. "Kok, investasi Starlink kalah sama pengusaha ISP. Masa jumlah karyawan Starlink di Indonesia jauh di bawah ISP kecil yang ada di Indonesia. Kalau hanya untuk menyediakan akses internet di daerah 3T, Kementerian Kominfo juga sudah punya Satelit Satria,” kata Trubus.
Baca Juga: Target Investasi Langsung Indonesia Rp 1.900 Triliun Dinilai Ketinggian
Seorang pelaku usaha telekomunikasi menceritakan, untuk melakukan usaha penyelenggaraan telekomunikasi jartup VSAT dan izin ISP seperti yang dilakukan Starlink, modalnya lebih dari Rp 30 miliar. Selain itu untuk dapat melayani seluruh wilayah Indonesia, Starlink membutuhkan minimal 9 stasiun bumi yang dijadikan hub. Minimal investasi untuk membangun satu stasiun bumi seperti Bakti Kominfo di proyek Satria sekitar US$ 5 juta.
Agar dapat beroperasi dan melayani seluruh wilayah di Indonesia, setidaknya Starlink membutuhkan lebih dari 3 NOC. Satu NOC membutuhkan minimal 15 orang tenaga kerja perhari (3 shift). Nilai investasi untuk 1 NOC tak kurang dari US$ 1 juta. Investasi Rp 30 miliar yang disampaikan Menteri Bahlil dinilai dapat dilakukan jika NOC dan kantor Starlink menggunakan layanan virtual. Seluruh kendali dilakukan dari kantor pusat mereka.
Padahal Kominfo mengharuskan seluruh penyelenggara telekomunikasi baik itu VSAT maupun ISP memiliki Network Operation Center (NOC) fisik di Indonesia. Tujuannya agar mempermudah aparat penegak hukum jika ingin melakukan lawful interception. Selain itu adanya fisik NOC di Indonesia untuk menjamin keamanan data pribadi masyarakat.
Trubus menilai minimnya modal dan mudahnya izin yang diterima tanpa melihat kewajaran nilai investasi di perusahaan telekomunikasi ada dugaan mengabaikan prosedur (maladministrasi). "Seperti ada tekanan politik luar biasa yang dialami Kominfo ketika penerbitan izin Starlink ini," lanjut Trubus.
Agar kegaduhan tak terjadi lagi di masa mendatang, pemerintahan selanjutnya yang nanti dipimpin presiden terpilih Prabowo Subianto harus membuat regulasi yang jelas terhadap Non-Geostationary Orbit (NGSO). Termasuk aturan mengenai keamanan dan teritorial digital Indonesia. Sebab nantinya akan banyak model bisnis lain mirip Starlink masuk ke Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News