Reporter: Izzatul Mazidah, Namira Daufina, Pratama Guitarra | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Pebisnis makanan global melihat Indonesia sebagai pasar yang menggiurkan. Dengan omzet bisnis makanan dan minuman mencapai Rp 1.000 triliun per tahun, investor bersiap mencicipi pasar makanan dan minuman mulai tahun depan.
Dalam pantauan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi), sejumlah perusahaan kakap asal Jepang yang siap masuk ke Indonesia. Di antaranya adalah Suntory Group dan Asahi Group di bisnis minuman, Glico Corporation di bisnis camilan coklat, serta Morinaga & Co Ltd yang berminat menggarap bisnis makanan dan minuman.
Nama lain adalah UHA Miko Uno, Yamazaki Baking Co di industri roti, serta Kanematsu Corporation. Sebagai tahap penjajakan, mereka berniat membangun bisnis dan berinvestasi antara Rp 100 miliar–Rp 200 miliar per pabrik.
Beberapa nama itu memang tidak asing di telinga kita lantaran sudah menjalin kerjasama dengan mitra lokal. Seperti Suntory Group dengan Garuda Food, Asahi Group dengan Grup Indofood atau Yamazaki Baking dengan Grup Alfa. Namun kongsi bisnis UHA Miko Uno atau Kanematsu masih belum jelas.
Arus masuk industrialis makanan dari asing ini akan berjalan seiring ekspansi gencar peritel modern, semacam 7-Eleven, Lawson, Mini Stop atau Family Mart yang juga dari asal Jepang. "Ada satu lagi asal Korea tapi belum mau disebut identitasnya," terang Adhi S Lukman, Ketua Umum Gapmmi, kemarin.
Adhi menilai, niat para pebisnis Jepang masuk ke Indonesia itu tak lepas dari potensi pertumbuhan bisnis di Indonesia. Kalkulasi Gapmmi, rata-rata omzet bisnis ini naik sekitar 11% per tahun.
Nah, yang menjadi kekhawatiran Gappmi justru urusan pemenuhan pasokan bahan baku industri ini. Maklum, mayoritas adalah bahan pokok makanan. Persoalannya, "Sekitar 70% bahan pokok di masih impor, seperti tepung, sayur dan buah," katanya.
Satu sisi, investasi asing ini adalah berkah bagi ekonomi Indonesia. Tapi di sisi lain, aksi ekspansif industrialis besar global juga jadi ancaman bagi pebisnis lokal, terutama usaha kecil dan menengah. "Pengusaha lokal kurang dibimbing," kata Emir Pohan, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (WALI).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News