Reporter: Nina Dwiantika | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. PT Kawasan Industri Jababeka Tbk semakin percaya diri keluar dari zona nyaman di Cikarang, Jawa Barat. Pengembang itu akan mengembangkan kawasan ekonomi khusus (KEK) di Morotai, Maluku Utara.
Jababeka berencana mengolah areal seluas 1.200 hektare (ha) di KEK Morotai. Perusahaan itu akan mengembangkan bisnis di kawasan Morotai secara bertahap.
Pada tahap awal, Jababeka akan membangun 10.000 rumah dengan sasaran kelas menengah, dan hotel yang terdiri dari 10.000 kamar. Selanjutnya, perusahaan tersebut akan membangun tempat pariwisata, sekolah serta industri pertanian, perikanan, dan perdagangan.
Untuk itu, Jababeka perlu menggelontorkan dana sekitar Rp 6,8 triliun. Sumber dananya dari kas internal dan dana dari investor yang membeli proyek di KEK Morotai.
Jababeka tak ragu menganggarkan dana jumbo karena menilai Morotai memiliki potensi ekonomi menjanjikan. Trigger positif Morotai yang terletak di Kepulauan Halmahera adalah tontonan pemandangan alam yang indah.
Selain itu, lokasi Morotai cukup strategi karena berada di antara jalur pelayaran Asia dan Australia. "Morotai ini akan berkembang untuk 100 tahun," prediksi Setyono Djuandi Darmono Pendiri sekaligus Presiden Komisaris PT Kawasan Industri Jababeka Tbk, Senin (24/8).
Asal tahu saja, pengembangan KEK di Morotai akan menggenapi dua proyek KEK lain yang Jababeka kembangkan di luar Cikarang. Dua proyek lain adalah KEK di Tanjung Lesung, Banten dan Kendal, Jawa Tengah.
Namun di tengah ambisi untuk melebarkan sayap bisnis, Jababeka menghadapi tantangan bisnis. Terlebih, perusahaan berkode KIJA di Bursa Efek Indonesia tersebut mengandalkan dana investor sebagai sumber modal mengembangkan proyek.
Malangnya, tatkala nilai tukar rupiah semakin tiarap seperti saat ini, investor kebanyakan memilih wait and see alias menunda berinvestasi. Tak ayal, ini bisa mengganjal rencana ekspansi Jababeka.
Namun di tengah likuiditas yang tak melimpah, Jababeka ingin tetap memperkuat kas lancar. Perusahaan itu bersikukuh mengalokasikan dana kas untuk melanjutkan ekspansi. "Lebih baik rugi daripada tidak punya uang, tidak bisa menggaji karyawan dan tidak bisa belanja modal," ungkap Darmono.
Hedging rupiah
Jababeka mengimbangi upaya untuk tetap mempertahankan kas untuk ekspansi itu dengan dua strategi. Pertama, melakukan hedging alias lindung nilai nilai tukar dollar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah di level Rp 14.800.
Total dana yang mendapatkan skema lindung nilai adalah US$ 100 juta - US$ 150 juta. "Kalau rupiah bisa tembus Rp 14.800 per dollar itu akan bahaya," beber Darmono.
Kedua, memperbanyak penggunaan bahan material lokal. Sebut saja material berupa batu, semen dan furnitur. Dengan cara begitu, Jababeka tak akan merogoh kocek dalam dollar AS yang saat ini tengah melambung tinggi.
Di luar strategi internal, layaknya pelaku usaha lain, Jababeka berharap pemerintah bisa membikin kebijakan untuk menahan agar mata uang Garuda tak melemah lebih dalam lagi. Hitungan Jababeka, level rupiah yang nyaman adalah di bawah Rp 14.000.
Sepanjang semester I-2015, pendapatan Jababeka masih tumbuh 2,78% menjadi Rp 1,48 triliun. Namun patut dicatat, laba bersih periode berjalan perusahaan tersebut turun 40,58%. Laba pada semester I-2014 adalah Rp 419,52 miliar sedangkan laba pada semester I-2015 adakah Rp 249,29 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News