kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.308.000 -0,76%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Jor-Joran Beri Subsidi ke Energi Fosil, Investasi EBT Jadi Terhambat


Senin, 21 Agustus 2023 / 22:58 WIB
Jor-Joran Beri Subsidi ke Energi Fosil, Investasi EBT Jadi Terhambat
ILUSTRASI. Energi Baru Terbarukan: Pekerja membersihkan panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah pengamat menilai subsidi energi yang lebih dirprioritaskan untuk energi fosil bisa menjadi penghalang energi baru terbarukan (EBT) di dalam negeri.

Analis Kebijakan Energi International Institute for Sustainable Development (IISD) Anissa Suharsono menjelaskan, berdasarkan data yang dihimpun IISD, sepanjang 2016 hingga 2020 sekitar 94,1% dari total bantuan yang diberikan pemerintah, dialokasikan untuk bahan bakar fosil yakni ke sektor minyak dan gas bumi (migas), batubara, dan kelistrikan. Sementara kurang dari 1% dialokasikan untuk sektor EBT.

Anissa menilai, subsidi energi yang lebih banyak dialirkankan ke sektor fosil akan berbahaya bagi sejumlah aspek khususnya pengembangan energi terbarukan di Indonesia.

Baca Juga: Pemerintah Bisa Sisihkan Sebagian Dana Subsidi Fosil untuk Transisi Energi

“Subsidi energi fosil itu merupakan sebuah penghalang untuk berkembangnya EBT karena terus mendukung produksi dan konsumsi bahan bakar fosil,” ujarnya dalam Expert Panel Yayasan Indonesia Cerah: Mendorong RUPTL Hijau yang Ambisius Setelah Komitmen JETP, Senin (21/8).

Selain itu, besaran subsidi sektor bahan bakar fosil juga menciptakan kondisi tidak adil untuk investasi ke energi bersih.

“Banyaknya insentif ini akan memberikan pandangan ke investor kalau berinvestasi di energi fosil jauh lebih mudah, menguntungkan, dan jauh lebih menarik dibandingkan ke energi bersih,” terangnya.

Sedangkan, selama ini, subsidi energi fosil yang diperuntukkan untuk rumah tangga berpendapatan rendah, justru tidak tepat sasaran. Sebagian besar dana tersebut dinikmati kelompok masyarakat berpendapatan besar.

Peneliti Institute for Energy Economics and Financial Analysis Putra Adhiguna melihat, saat ini Indonesia membangun tembok setinggi-tingginya pada pengembangan energi terbarukan.

Baca Juga: Buat Program Green Generation, Wamen KLHK Apresiasi Sucofindo

“Kita bangun tembok dengan melaksanakan Domestic Market Obligation (DMO) batubara, lalu subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM) dan gas industri (Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT),” ujarnya,

Hal terburuk yang bisa terjadi, jika energi fosil ini terus diberikan subsidi, misalnya saja harga gas murah untuk industri, lalu konsumsinya terus bertambah dan tidak terkendali, Indonesia berpotensi menjadi pengimpor gas karena umur cadangannya hanya sampai 12-15 tahun lagi.

Oleh karenanya, lanjut Putra, ada baiknya pemerintah bisa menyisihkan sebagian pendapatan dari sektor energi fosil untuk membiayai proyek transisi energi.

“Misalnya di sektor batubara (Badan Layanan Umum/BLU) dana yang dihimpun bisa dialihkan sebagian untuk transisi energi. Mulai dari angka 2% atau 4% saja, dengan ini kita punya pijakan untuk bertransisi,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×