Reporter: Handoyo | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Upaya pemerintah untuk mendukung hilirisasi produk melalui penerapan bea keluar (BK) ekspor produk olahan mendapat dukungan dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.
Ketua Umum Kadin Indonesia Suryo Bambang Sulisto mengungkapkan, untuk memberikan nilai tambah atas komoditas unggulan Indonesia, kebijakan BK memang patut didukung. "Jangan sampai kita hanya menjadi pengekspor produk mentah yang harganya murah," terang Suryo (28/12).
Ia menambahkan, dengan adanya kebijakan tersebut, walhasil akan banyak investor yang masuk dan menanamkan modalnya bagi industri hilir. Semakin banyak industri yang berinvestasi, diharapkan penyerapan tenaga kerja menjadi bertambah.
Pernyataan Suryo juga diamini oleh Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian, Riset, dan Teknologi Kadin Indonesia Bambang Sujagad. Bambang bilang, dengan semakin banyaknya komoditas unggulan Indonesia yang dikenai BK, maka keuntungan yang didapatkan pun juga besar. "Dengan melakukan ekspor produk olahan, keuntungan yang didapat bisa lebih dari 100% jika dibandingkan ekspor produk mentah," jelas Bambang.
Kementrian Perdagangan (Kemendag) juga tidak kalah getol dalam mendorong hilirisasi produk. Bahkan tahun 2014 mendatang, minyak curah akan ditiadakan. Tentu saja hal itu guna mendorong tumbuhnya industri pendukung, seperti kemasan. "Dengan hilirisasi ini, akan banyak penyerapan tenaga kerja," terang Wakil Menteri Perdagangan, Bayu Krisnamurthi (30/12).
Masih ada pro-kontra
Padahal, sebelumnya, beberapa asosiasi seperti kakao, CPO dan karet menanggapi kebijakan BK ini tidak efektif untuk mendongkrak industri dalam negeri. Zulhefi Sikumbang, Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) mengatakan, dari delapan perusahaan industri pengolahan kakao dalam negeri yang telah mati suri sebelum kebijakan BK ini diterapkan, kenyataannya masih tidak berdaya dan tidak ada perkembangan. "BK bukan solusi untuk menghidupkan industri dalam negeri yang mati suri," terang Zulhefi.
Sebagai gambaran, berdasarkan data Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) jika pada tahun 2010, ekspor produk olahan kakao hanya 120.000 ton, tahun ini diprediksi naik 52,17% menjadi 230.000 ton. Bahkan tahun depan akan bertambah lagi menjadi 350.000 ton.
Senada dengan Zulhefi, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo), Suharto Honggokusumo berkata, penerapan BK karet sebenarnya tidak perlu. "Selama ini, kita tidak pernah mendengar di dalam negeri kekurangan bahan baku karet," ucapnya.
Apalagi harga karet di dalam negeri sudah setara dengan harga internasional. Jadi, produsen karet akan memenuhi berapa pun kebutuhan karet untuk industri di dalam negeri. Justru lantaran kebutuhan karet di dalam negeri masih amat terbatas, mereka pun mengekspor sisa produksinya ke pasar dunia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News