Reporter: Benedictus Bina Naratama | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Kebijakan moratorium izin kapal di atas 30 GT dan dan larangan transhipment atau bongkar hasil tangkapan ikan di tengah laut yang dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membuat pengusaha perikanan kesulitan. Dua aturan itu, diklaim telah membuat mereka susah mendapatkan izin perikanan dari pemerintah daerah setempat.
Ketua Komite Tetap Industri Makanan, Minuman, dan Tembakau Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Thomas Darmawan mengatakan, akhir-akhirnya ada keluhan dari kalangan pengusaha terkait kebijakan moratorium dan transhipment yang diterapkan pemerintah. Sebab banyak pemerintah daerah yang tidak berani mengeluarkan beberapa perizinan yang menyangkut operasi kapal seperti Surat Laik Operasi (SLO) kapal dan Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan - Nelayan Asing (SIKPI-NA).
"Kementerian Kelautan dan Perikanan melakukan berbagai kebijakan seperti moratorium dan transhipment untuk menjaga kekayaan laut Indonesia. Tapi akhir-akhir ini ada keluhan, karena kebijakan yang tujuannya baik tersebut membuat para pejabat di daerah tidak berani mengeluarkan izin-izin seperti Surat Laik Operasi kapal dan SIKPI-NA karena dibekukan pemerintah pusat. Mereka takut kalau dipidanakan," ujar Thomas yang yang juga Ketua Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia.
Thomas menuturkan kedua perizinan tersebut, yaitu Surat Laik Operasi (SLO) kapal dan Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan - Nelayan Asing (SIKPI-NA) diperlukan untuk mengangkut hasil budidaya ikan kerapu yang terdapat di Natuna, Batam, dan Bali. Kedua perizinan tersebut dikeluarkan oleh Syahbandar atau pihak pelabuhan setiap kali kapal ikan akan berlayar. Padahal, lanjut Thoman, ikan kerapu tersebut akan diekspor ke luar negeri dengan menggunakan kapal ikan asing yang masuk ke perairan Indonesia.
"Kita tidak punya kapal untuk mengangkut ikan kerapu ke Hong Kong. Biasanya kapal berbendera Hong Kong yang mengambil ikan ke pulau Natuna, Batam dan Bali. Dengan adanya kebijakan tersebut izin yang masih berlaku pun ikut dibekukan, sehingga kapal tidak berani masuk," jelasnya.
Karena hal tersebut, banyak ikan kerapu yang tidak bisa diekspor keluar negeri akibat tidak adanya kapal asing yang berani masuk ke perairan Indonesia. Selain itu, pengusaha juga keberatan dengan kebijakan dilarangnya transhipment di tengah laut. Bahkan untuk kapal berbendera Indonesia karena dikhawatirkan memindahkan ikan secara ilegal. Seharusnya kebijakan transhipment ini, menurut Thomas, hanya berlaku untuk kapal asing.
Atas hal tersebut, Thomas beserta pengusaha perikanan lainnya mengajukan komplain kepada pemerintah melalui Kadin Indonesia. "Asosiasi juga sedikit komplain karena ikan kerapu tidak bisa terangkut. Kita sudah membuat surat keberatan kepada pemerintah melalui Kadin. Semoga dalam 1 bulan ini sudah ada solusi karena ini masih dibahas oleh BKPM dan KKP," ujarnya.
Terkait dengan sulitnya mendapatkan perijinan SLO dan SIKPI-NA, pengusaha perikanan melalui Kadin Indonesia mengadu kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Dengan bantuan BKPM diharapkan dapat membujuk pemerintah untuk melonggarkan kebijakan moratorium dan transhipment yang merugikan pengusaha.
Deputi Bidang Promosi BKPM Himawan Haryoga mengungkapkan, pihaknya sekarang sedang melakukan koordinasi dengan KKP terkait kedua perizinan tersebut. Ia menuturkan diperlukan juga peran pengusaha dan asosiasi untuk memberikan data-data permasalahan yang terjadi di lapangan. Terutama yang menyangkut perizinan.
"Dengan KKP sedang dilakukan koordinasi. Tentunya dalam tahap-tahap itu selalu ada komunikasi dan masukan-masukan dari perusahaan maupun asosiasi yang dapat digunakan untuk melakukan koordinasi baik secara orizontal maupun vertikal dengan lembaga dan instansi negara," jelasnya.
Koordinasi yang dilakukan oleh BKPM juga ini dalam rangka penyederhanaan perizinan dari kementerian dan lembaga kepada BKPM yang dimulai pada tahun depan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News