Reporter: Amailia Putri Hasniawati, Ewo Raswa |
JAKARTA. Saat ini, petani kelapa saat ini tengah megap-megap. Betapa tidak, mereka kalah bersaing lantaran tidak memiliki modal cukup untuk mengolah kelapa jadi produk turunan. Hal ini ditegaskan oleh Market Development Officer Asian and Pasific Coconut Community (APCC) Amrizal Idroes.
Ironisnya, kata Amrizal, pembinaan pemerintah dan keterlibatan swasta dalam bisnis ini sangat minim. Maka, jangan heran jika banyak petani kelapa beralih ke kelapa sawit. Salah satu contoh adalah petani di sentra kelapa terbesar di Sulawesi.
“Petani kelapa tergiur dengan produktivitas sawit ditambah tidak ada komitmen dari pemerintah. Petani dan industri masing-masing jalan sendiri,” ujar Amrizal.
Selama ini, mayoritas kelapa di Indoensia diolah menjadi kopra untuk diambil minyaknya. Padahal, rendemen kelapa untuk menjadi minyak jauh lebih kecil ketimbang kelapa sawit. Sebagai gambaran: satu hektare kelapa sawit bisa menghasilkan empat ton minyak. Sedangkan kopra cuma mampu memproduksi 600-650 kilogram per hektare.
Makanya, Amrizal menyarankan pemerintah mencari cara agar petani tergiur kembali mengelola dan menanam kelapa. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah penyediaan benih yang memiliki produktivitas tinggi.
Pemerintah juga mesti mendorong petani agar menghasilkan produk turunan kelapa yang bernilai ekonomi. Misalnya: kelapa parut kering (desiccated coconut ) yang biasa dipakai sebagai bahan dasar industri biskuit dan es krim. Selain itu, petani juga harus didorong mengolah kelapa menjadi produk setengah jadi seperti nata de coco.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News