Reporter: Nurmayanti | Editor: Test Test
JAKARTA. Tidak heran, pupuk dalam negeri sering kali mengalami kelangkaan. Tengok saja, ketergantungan pasar domestik pada pupuk impor masih amat tinggi. Penyebabnya, sumber mineral sebagai bahan baku pupuk belum tersedia di Indonesia. Kalaupun ada bahan baku, hasil produksinya belum mampu memenuhi kebutuhan.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Niaga Pupuk Indonesia (ANPI) Hikolina C. Pardede mengatakan setiap tahun 80% kebutuhan pupuk di Indonesia, kecuali jenis urea, masih berasal dari impor. Baik berbentuk bahan baku maupun produk jadi. "Ada beberapa jenis pupuk yang memang tak ada di Indonesia, karena itu kita impor. Pabrik yang ada di Indonesia saat ini masih spesifik produksinya. Untuk jenis tertentu saja seperti urea," ujar Hikolina, Rabu (10/9).
Dia menjelaskan, pupuk jenis Kalium Chlorida (KCL), pada tahun ini sepenuhnya masih impor, dengan besaran 1,5-2 juta ton. Sementara pupuk jenis ammonia sulfat (ZA), Indonesia baru mampu memproduksi 700.00 ton. Padahal kebutuhan pupuk jenis ini sudah mencapai 1,7 juta ton. Jadi sisanya, tentu saja berasal dari impor. Untuk pupuk jenis SP3, dari kebutuhan 2 juta, pasokan lokal hanya mampu menutup 500 ribu ton.
Data impor ANPI ini, kata Hikolina, bersumber dari Dirjen Tanaman Pangan Departemen Pertanian. Meski besar, kenyataannya setiap tahun nilai impor tidak sepenuhnya mencerminkan kebutuhan. Tergantung kemampuan importir. Harga pupuk, kata dia, saat ini juga terbilang masih sangat tinggi, akibat melejitnya harga minyak dunia.
Selain faktor supply demand, penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang tertuang melalui Permendag No.14/2007 juga ikut mempengaruhi harga pupuk di dalam negeri tinggi. Permendag ini mengatur Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan SNI Wajib terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangkan. "Depdag tidak mengatur besaran impor pupuk. Kami hanya mengatur SNI saja," kata Direktur Impor Ditjen Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan (Depdag) Albert Tobagu.
Implementasi Permendag ini, ujar Hikolina yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Hikolina yang juga pelaku bisnis ekspor-impor pupuk menjelaskan, Permendag mengharuskan setiap produk pupuk yang akan diimpor dicek terlebih dulu oleh Depdag. Seharusnya, pemerintah mengatur pupuk setelah diimpor dan bukan sebaliknya. "Kita bukan anti SNI tapi pelaksanaan di lapangan kebijakan ini menyebabkan ekonomi biaya tinggi," ujar dia.