Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA.Kebutuhan batubara dunia dalam jangka panjang akan terus melandai karena mengikuti pengetatan peraturan emisi karbon. Lantas, bagaimana Indonesia sebagai negara yang memiliki cadangan batu bara yang melimpah dan sebagai eksportir batu bara menyikapinya?
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batu Bara Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba), Sujatmiko mengungkapkan ke depan proyeksi secara global akan terjadi penurunan permintaan batubara mencapai 25% di tahun 2035 dan 40% di tahun 2050 akibat pengetatan peraturan emisi karbon.
"Di sisi lain, Indonesia masih memiliki sumber daya cadangan batu bara cukup besar. Pada 5 tahun terakhir batu bara masih menjadi tulang punggung energi maupun perekonomian nasional," jelasnya dalam webinar DETalk Outlook 2022: Masa Depan Industri Batubara Menuju Transisi Energi, Selasa (14/12).
Sujatmiko menjelaskan lebih rinci, mengacu pada data 2020, Indonesia memiliki 143,7 miliar ton sumber daya batu bara dengan sekitar 39 miliar ton cadangan. Jika diasumsikan produksi per tahun sebanyak 600 juta ton, Indonesia masih mempunyai umur tambang 65 tahun (asumsi ini hanya menggunakan data cadangan saja belum ditambah dengan jumlah sumber daya).
"Jika lebih intens eksplorasi pada sumber daya yang sebanyak 143,7 miliar ton kemudian bisa dikonversikan sebagai cadangan, maka umur batu bara kita bisa menjadi lebih panjang," kata Sujatmiko.
Baca Juga: Pada 2022, Bumi Resources (BUMI) targetkan produksi batubara hingga 90 juta ton
Saat ini, Indonesia baru berhasil menyerap sekitar 28% dari produksi batubara nasional untuk kebutuhan energi. Melansir data ESDM dalam webinar, pada 2020 produksi batu bara sebanyak 550 juta ton, sedangkan kebutuhan batubara dalam negeri baru sebesar 155 juta ton, dengan perincian 109 juta ton diserap untuk pembangkit dan sisanya 46 juta ton digunakan industri seperti smelter, semen, dan sebagainya. Di tahun lalu, batubara yang diekspor sebanyak 395 juta ton.
Adapun proyeksi ke depannya, pada 2025 kebutuhan batubara di dalam negeri mengalami peningkatan 25% dibandingkan 2020 menjadi 194 juta ton karena ada tambahan kebutuhan batu bara dari hilirisasi. Berlanjut di 2030 menjadi 241 juta ton dan 2040 menjadi 292 juta ton.
Namun, jika dibandingkan dengan produksi batu bara yang terus meningkat dari tahun ke tahun, kontribusi serapan batubara dalam negeri terhadap produksi nasional berada di kisaran 31% sampai 43% dari periode 2025-2040.
Di sisi lain, kebutuhan batu bara di pasar ekspor akan terus melandai seiring dengan pengetatan emisi karbon. Dalam datanya, Kementerian ESDM memerinci, ekspor batu bara di 2025 diproyeksikan sebesar 439 juta ton, kemudian di 2030 menjadi 444 juta ton, dan pada 2040 melandai menjadi 385 juta ton.
Sujatmiko mengatakan, ada beberapa upaya untuk mengembangkan batubara untuk kebutuhan dalam negeri. Pertama, dengan mengoptimalisasi PLTU eksisting dan tambahan PLTU dengan penerapan teknologi seperti clean coal technology dan carbon capture, utilization & storage (CCUS). Kemudian, hilirisasi batu bara menjadi produk lain seperti DME, methanol, pupuk, dan syngas.
Menurut Sujatmiko, transisi energi merupakan keniscayaan yang harus dihadapi bersama. Jika berbicara tentang energi, saat ini batu bara merupakan produk yang paling terjangkau oleh masyarakat dan industri sehingga masih menempati porsi optimum di energy mix.
Ketua Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF), Singgih Widagdo menilai, berbicara industri batu bara Indonesia di tengah transisi tentu harus dilihat kondisi jangka panjang atau setelah tahun 2025.
Salah satu yang disoroti Singgih adalah bagaimana Indonesia menyikapi kebijakan transisi energi negara importir batu bara yakni China dan India. Pasalnya, saat ini Indonesia mengekspor sebanyak 54% dari produksi batu bara ke dua negara tersebut.
"Skenario bauran energi di China sudah jelas, bahwa mereka berkomitmen pada 2026-2030 kebutuhan batu baranya akan flat di kisaran 3,9 miliar ton - 4 miliar ton. Adapun pada 2035-2050 bauran energi batu bara di China akan terus turun," jelasnya.
Singgih berpesan, untuk menyikapi hal ini, dibutuhkan langkah goverment to goverment (G2G) antara pemerintah Indonesia dengan China dan India. Menurutnya upaya ini tidak bisa hanya dilakukan melalui skema business to business (B2B) saja.
"Kita harus melihat juga negara importir terbesar, kita jangan merasa mampu untuk melakukan penggantian hilirisasi saja tetapi lepas melakukan upaya lobi G2G terhadap negara importir dalam mempertahankan peran batu bara terhadap pendapatan negara, kelistrikan, dan industri Indonesia," tegasnya.
Selain melihat demand dari luar negeri, Singgih juga menyatakan sampai dengan 2030 konsumsi batu bara nasional masih terus meningkat karena ditopang dari kebutuhan PLN dan industri semen. Sampai dengan 2030 PLN membutuhkan batubara sebanyak 153 juta ton untuk PLTU.
Baca Juga: Harga batubara kembali menembus level US$ 150 per ton
Singgih menyatakan, ada sejumlah "pekerjaan rumah" besar bagi industri batu bara Indonesia dalam menyikapi transisi energi, yakni memetakan proyeksi produksi nasional pada lima tahun ke depan, pemetaan ekspor batu bara sampai dengan 2025, dan mengevaluasi kondisi seluruh pelaku usaha pertambangan.
Saat ini Indonesia memiliki 1.171 Izin Usaha Pertambangan (IUP), 67 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), dan 1 Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang seluruhnya harus dievaluasi.
"Harus dipetakan proyeksi produksi 5 tahun ke depan seperti apa, statusnya apa, produksinya berapa, bagaimana kondisi pasarnya, agar jangan terjebak 4-5 tahun akan terhenti. Menurut saya, di 2026-2030 merupakan periode yang paling sensitif sehingga harus melihat bagaimana kondisi 5 tahun ke depan supaya tambang tidak hancur ditinggal saja karena faktor harga (batu bara) yang murah," ujarnya.
Pekerjaan rumah yang lain ialah, memperkuat hilirisasi dalam skala lebih luas. Singgih bilang, diperlukan blue print dan arah yang serta konsolidasi dengan tambang kecil mengenai upaya peningkatan nilai tambah sehingga tidak hanya berorientasi pada industri pertambangan saja, tetapi bisa naik ke industri kimia. "PR kita yang terakhir adalah pengendalian produksi untuk kepentingan bisnis dan lingkungan menuju 2030," kata Singgih.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News