Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .
Ketua Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF), Singgih Widagdo menilai, berbicara industri batu bara Indonesia di tengah transisi tentu harus dilihat kondisi jangka panjang atau setelah tahun 2025.
Salah satu yang disoroti Singgih adalah bagaimana Indonesia menyikapi kebijakan transisi energi negara importir batu bara yakni China dan India. Pasalnya, saat ini Indonesia mengekspor sebanyak 54% dari produksi batu bara ke dua negara tersebut.
"Skenario bauran energi di China sudah jelas, bahwa mereka berkomitmen pada 2026-2030 kebutuhan batu baranya akan flat di kisaran 3,9 miliar ton - 4 miliar ton. Adapun pada 2035-2050 bauran energi batu bara di China akan terus turun," jelasnya.
Singgih berpesan, untuk menyikapi hal ini, dibutuhkan langkah goverment to goverment (G2G) antara pemerintah Indonesia dengan China dan India. Menurutnya upaya ini tidak bisa hanya dilakukan melalui skema business to business (B2B) saja.
"Kita harus melihat juga negara importir terbesar, kita jangan merasa mampu untuk melakukan penggantian hilirisasi saja tetapi lepas melakukan upaya lobi G2G terhadap negara importir dalam mempertahankan peran batu bara terhadap pendapatan negara, kelistrikan, dan industri Indonesia," tegasnya.
Selain melihat demand dari luar negeri, Singgih juga menyatakan sampai dengan 2030 konsumsi batu bara nasional masih terus meningkat karena ditopang dari kebutuhan PLN dan industri semen. Sampai dengan 2030 PLN membutuhkan batubara sebanyak 153 juta ton untuk PLTU.
Baca Juga: Harga batubara kembali menembus level US$ 150 per ton
Singgih menyatakan, ada sejumlah "pekerjaan rumah" besar bagi industri batu bara Indonesia dalam menyikapi transisi energi, yakni memetakan proyeksi produksi nasional pada lima tahun ke depan, pemetaan ekspor batu bara sampai dengan 2025, dan mengevaluasi kondisi seluruh pelaku usaha pertambangan.
Saat ini Indonesia memiliki 1.171 Izin Usaha Pertambangan (IUP), 67 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), dan 1 Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang seluruhnya harus dievaluasi.
"Harus dipetakan proyeksi produksi 5 tahun ke depan seperti apa, statusnya apa, produksinya berapa, bagaimana kondisi pasarnya, agar jangan terjebak 4-5 tahun akan terhenti. Menurut saya, di 2026-2030 merupakan periode yang paling sensitif sehingga harus melihat bagaimana kondisi 5 tahun ke depan supaya tambang tidak hancur ditinggal saja karena faktor harga (batu bara) yang murah," ujarnya.
Pekerjaan rumah yang lain ialah, memperkuat hilirisasi dalam skala lebih luas. Singgih bilang, diperlukan blue print dan arah yang serta konsolidasi dengan tambang kecil mengenai upaya peningkatan nilai tambah sehingga tidak hanya berorientasi pada industri pertambangan saja, tetapi bisa naik ke industri kimia. "PR kita yang terakhir adalah pengendalian produksi untuk kepentingan bisnis dan lingkungan menuju 2030," kata Singgih.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News