Reporter: Ahmad Febrian | Editor: Ahmad Febrian
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kegaduhan atas kehadiran layanan Starlink di Indonesia terus bergulir. Kehadiran Starlink yang dikabarkan mengancam operator telekomunikasi di Indonesia sudah sampai ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
KPPU telah memanggil Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan seluruh pemangku kepentingan di industri telekomunikasi Indonesia untuk menjelaskan isu kehadiran Starlink ini bagi iklim persaingan usaha di Indonesia melalui focus group discussiion (FGD). Namun Kominfo mendadak batal hadir.
Usai pertemuan, Komisioner KPPU Hilman Pujana menjelaskan, kemunculan teknologi merupakan sebuah keniscayaan. Termasuk dalam teknologi penyediaan layanan internet. KPPU meminta regulator memperlakukan Starlink sama seperti pelaku usaha lain. Yakni dalam hal perizinan, pengenaan biaya dan hal terkait lainnya.
Adapun, yang menjadi objek pengawasan KPPU adalah yang terkait perilaku pelaku usaha di pasar. Ini tidak hanya kepada pemain baru seperti Starlink, tetapi juga kepada pelaku usaha eksisting. Terkait isu dugaan predatory pricing, Hilman mengatakan bahwa pembuktiannya membutuhkan proses.
"Kalau dari sisi praktik di competition tentunya (pembuktian) predatory pricing butuh proses, jadi tidak hanya kita bicara orang jual lebih murah, bukan seperti itu konsepnya. Pelaku usaha yang melakukan predatory pricing ini ada beberapa persyaratan untuk bisa disebut sebagai aksi dari predatory pricing," jelas Hilman di Kantor KPPU, pekan lalu.
Sementara itu, Tim Legal Starlink Indonesia, Krishna Vesa menyatakan, perizinan dan status badan hukum Starlink telah memenuhi peraturan perundang-undangan. Kemudian, semua infrastruktur yang diwajibkan juga sudah tersedia di Indonesia. Dia juga membantah adanya "karpet merah" yang diberikan pemerintah kepada Starlink. "Sama sekali tidak ada predatory pricing. Promosi yang dilakukan Starlink hal wajar yang diperbolehkan oleh hukum," kata Krishna.
Heru Sutadi, Direktur Eksekutif di Indonesia ICT Institute menjelaskan, sebagai pihak pengawas persaingan usaha, menurut Heru KPPU pastinya sudah sangat paham mengenai predatory pricing dan praktik monopoli.
Baca Juga: Starlink Masuk Indonesia, KPPU Sebut Pembuktian Predatory Pricing Butuh Proses
Untuk melihat ada atau tidaknya predatory pricing dan monopoli, harus dilihat beberapa parameter seperti perilaku mereka di dunia internasional, kekuatan kapital, teknologi serta akses terhadap regulator baik itu di lembaga internasional maupun di satu negara.
Saat ini Starlink memiliki 5.402 satelit orbit rendah dan berencana mengorbitkan hingga 30.000 satelit. Ketika Starlink melewati wilayah Indonesia, jumlah satelit miliknya yang beroperasi tidak kurang dari 200 unit. Jumlah satelit Starlink tersebut jauh lebih banyak ketimbang milik operator telekomunikasi Indonesia.
Dengan sumberdaya yang miliki, menurut Heru, Starlink memiliki potensi serta perilaku untuk melakukan predatory pricing. "Melihat persaingan usaha di industri digital dan telekomunikasi jangan hanya saat ini. Tapi melihat potensi ancaman ke depan. Jangan sanpai menunggu pelaku usaha telekomunikasi nasional mati terlebih dahulu dan baru menyatakan telah terjadi predatory pricing dan prilaku monopoli," jelas Heru, dalam keterangannya, Senin (3/6).
Heru juga meminta agar KPPU dapat melihat secara jernih pasar internet broadband satelit. Tidak serta merta membandingkan kahadiran Starlink langsung membuat konsumen FTTH atau pelanggan selular beralih ke Starlink.
Saat ini Starlink sudah menjangkau seluruh dunia. Namun tidak semua regulator mengizinkan Starlink beroperasi di negara mereka. Ada negara yang mengizinkan Starlink beroperasi, tapi regulator membatasi layanan Starlink. Mereka hanya mengizinkan Starlink beroperasi jika bekerjasama dengan operator telekomunikasi yang sudah ada. Beberapa regulator telekomunikasi yang membatasi layanan Starlink seperti di beberapa negara Eropa dan Asia.
Kewajiban kerjasama tersebut menunjukan regulator telekomunikasi di negara tersebut memiliki keberpihakan kepada pelaku usaha telekomunikasi yang sudah ada.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News