kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45931,36   3,72   0.40%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kembangkan PLTS, pemerintah ingin harga listrik bisa di bawah US$ 4 cent per kWh


Kamis, 26 November 2020 / 19:57 WIB
Kembangkan PLTS, pemerintah ingin harga listrik bisa di bawah US$ 4 cent per kWh
ILUSTRASI. Pemerintah bakal terus menggenjot pemanfaatan energi surya untuk kelistrikan.


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah mengklaim bakal terus menggenjot pemanfaatan energi surya untuk kelistrikan. Target yang dipatok pun cukup ambisius, ada 17.687 Megawatt (MW) kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) hingga 2035.

Padahal, kapasitas PLTS di Indonesia saat ini baru sekitar 150 MW saja. Hanya 0,07% dibandingkan potensi energi surya di Indonesia yang ditaksir mencapai 207.800 MW atau 207,8 Gigawatt (GW).

Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan (EBT) Kementerian ESDM Harris menyampaikan, pada lima tahun pertama, pemerintah menargetkan tambahan kapasitas PLTS hingga 5.000 MW. Angka ini juga untuk menyokong target bauran EBT 23% pada 2025.

Meski realiasasinya masih jauh dari target, tapi Harris optimistis target tersebut bisa tercapai. "Ini bukan hal yang mustahil, karena negara-negara tetangga kita bisa melakukan itu, bahkan mungkin hanya sekitar dua tahun," kata Harris dalam salah satu sesi di IndoEBTKE Connex 2020 yang digelar Kamis (26/11).

Baca Juga: Jadi pelopor energi PLTS, Jonan sebut biaya pemasangan 1000 watt setara motor bebek

Dia menjelaskan, ada tiga strategi yang akan digenjot pemerintah untuk meraih target tersebut. Pertama, melalui PLTS berskala besar. Pembangunan PLTS jenis ini akan digencarkan mulai dari area bekas tambang, di area yang tidak produktif, melaui PLTS terapung, hingga pengembangan PLTS di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai lumbung energi berbasis surya.

Dari PLTS berskala besar ini, pemerintah menargetkan bisa meraup 13.565 MW. Menurut Harris, intermitensi pada PLTS tidak lagi menjadi kendala seiring dengan penggunaan baterai. Sejalan dengan perkembangan teknologi dan pasar, biaya listrik PLTS pun semakin murah.

Pemerintah menargetkan, harga listrik dari PLTS bisa di bawah US$ 4 cent per kilowatt hour (kWh). Selama ini, kontrak PLTS di dalam negeri masih tergolong tinggi. Harga yang dinilai paling ekonomis ialah untuk proyek PLTS Bali 25 MW dan PLTS Cirata 145 MW dengan harga di level US$ 5,8 cent per kWh.

"Target kita kalau bisa di bawah US$ 4 cent. Untuk PLTS Terapung sudah ada penawaran yang di Sumatera hingga di bawah US$ 4 cent. Jadi saya tambah yakin bahwa nanti sangat bisa kita capai," terang Harris.

Strategi kedua, mengganti Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dengan PLTS plus baterai. Ini mengacu pada program yang sedang digarap pemerintah dan PLN dalam konversi 5.200 unit PLTD dengan total kapasitas 2.600 MW.

Penggantian dilakukan bertahap. Paling tidak, dalam tahap awal ada 200 PLTD yang diganti PLTS baterai dengan kapasitas 1.200 MW-1.600 MW. Target harga dari program ini bisa di bawah Rp 1.500 per kWh.

Harga itu lebih rendah dibandingkan harus mengoperasikan PLTD dengan biaya hingga Rp 3.000 per kWh. "Dengan mengubahnya menjadi PLTS plus baterai, listrik juga bisa 24 jam, jangkauan bisa luas, layanan bisa bagus, biaya yang ditanggung PLN juga semakin murah," jelas Harris.

Ketiga, starategi yang akan dijalankan pemerintah ialah pembangunan rooftop atau PLTS Atap secara masif. Tak hanya bagi rumah, namun juga di segmen bisnis, industri, serta perkantoran.

Menurut data yang disampaikan Harris, penggunaan PLTS Atap cukup pesart. Hingga saat ini, total ada 2.779 pelanggan yang menggunakan PLTS Atap. Totak kapasitasnya sebesar 19,22 Megawatt peak (MWp).

"Kemudian pemanfaatannya juga tidak hanya dipakai untuk rumah tangga, tetapi sektor industri saat ini sudah berjalan cukup bagus. Jika kita lihat progres per bulannya, kami yakin ini akan semakin baik dalam pertumbuhan yang sangat tinggi," ujar Harris.

Dia mengklaim, penggunaan PLTS Atap semakin masif setelah pemerintah mengeluarkan payung hukum berupa  Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 49 tahun 2018. Meski begitu, regulasi ini pun telah diubah untuk mengakomodasi masukan stakeholders melalui Permen ESDM Nomor 13 tahun 2019.

Harris menyampaikan, pihaknya terbuka untuk kembali melakukan revisi aturan jika hal tersebut dapat mengakselerasi penggunaan PLTS Atap. Dia pun menyadari, masih ada isu yang ingin direvisi dalam regulasi tersebut, yakni tentang nilai konversi ekspor dan impor ke PLN.

"Ke depan kita masih buka opsi untuk melakukan perbaikan lagi, terutama isu yang tersisa yaitu nilai konversi. Tentunya memang diperlukan suatu regulasi yang dapat mengakselerasi pemanfaatannya (energi surya)," ujar Harris.

Selanjutnya: AESI: Dalam 5 tahun ke depan perlu tambahan PLTS lebih dari 1.000 MW per tahun

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×