Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) buka suara mengenai badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang kini menjadi kekhawatiran publik. Kemenperin membantah sejumlah pernyataan yang menyebutkan bahwa masih terjadi di sektor industri manufaktur.
Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief menyatakan narasi mengenai dominasi PHK di sektor industri manufaktur perlu dilihat secara lebih proporsional. Didukung data yang akurat serta analisis dan penjelasan lebih komprehensif.
Febri mengamini, beberapa sub sektor industri mengalami pengurangan tenaga kerja. Namun hal itu disebabkan residu kebijakan relaksasi impor sebelumnya, sehingga produk impor murah membanjiri pasar domestik.
"Penting untuk digaris bawahi bahwa PHK tersebut tidak mencerminkan kondisi umum sektor industri. Banyak sektor lain seperti jasa dan perhotelan yang juga mengalami PHK dalam skala besar, namun tidak mendapat sorotan yang seimbang," ungkap Febri dalam keterangan tertulis yang disiarkan Selasa (29/7).
Baca Juga: Ini 9 Sektor Industri yang Jadi Prioritas di Roadmap Dekarbonisasi Kemenperin
Febri sekaligus membantah pernyataan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengenai badai PHK. "Hemat kami, Bu Shinta (Apindo) termasuk pendukung terbitnya kebijakan relaksasi impor yang terbit pada bulan Mei 2024," kata Febri.
Menurut Febri, kebijakan tersebut mengakibatkan pasar domestik banjir produk impor murah, menekan utilisasi industri dalam negeri dan pengurangan tenaga kerja. Residu kebijakan tersebut dirasakan hingga saat ini, termasuk adanya badai PHK.
Febri lantas merujuk data dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS), yang menunjukkan jumlah tenaga kerja di sektor industri pengolahan mengalami penurunan karena aktivitas industri melemah karena banjirnya produk impor murah di pasar domestik.
Per Februari 2025, jumlah tenaga kerja sektor industri tercatat 19,60 juta orang, turun dibandingkan pada Agustus 2024 sebanyak 23,98 juta orang. Hal ini terjadi sejak pemberlakuan kebijakan relaksasi impor sampai sekarang.
“Artinya, sektor industri mengalami tekanan yang berat akibat dampak regulasi terkait relaksasi impor, sehingga terpaksa untuk melakukan PHK, terutama pada sektor padat karya seperti industri tekstil dan alas kaki. Inilah bukti dampak pemberlakuan kebijakan relaksasi impor produk murah tersebut,” imbuh Febri.
Penyerapan Tenaga Kerja
Menurut Febri, indikator kinerja industri justru menunjukkan tren yang positif, khususnya dalam hal penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan data Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas), pada Semester I-2025, tercatat sebanyak 1.641 perusahaan melaporkan sedang membangun fasilitas produksi baru dengan nilai investasi mencapai Rp 803,2 triliun.
Tenaga kerja yang terserap pada industri baru dibangun tersebut diperkirakan mencapai 3,05 juta orang. Febri bilang, angka ini jauh lebih besar dari jumlah PHK yang disampaikan oleh Kementerian lain ataupun asosiasi pengusaha.
Di sisi lain, produksi manufaktur pada bulan Juni 2025 masih menunjukkan kinerja ekspansif. Berdasarkan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Kemenperin, pada Juni 2025 IKI mencapai 52,50 yang berarti lebih dari 50% industri menyatakan bahwa kinerja mereka lebih baik dari bulan sebelumnya serta penyerapan tenaga kerjanya.
Kinerja industri berorientasi ekspor dan pasar domestik juga ekspansif yang ditunjukkan masing-masing oleh IKI Ekspor sebesar 52,19, dan sektor domestik 51,32. Ekspansif tiga indikator kinerja manufaktur menunjukkan permintaan, produksi dan penyerapan tenaga kerja industri manufaktur pada tingkat lebih baik dari bulan-bulan sebelumnya.
“Data ini membuktikan bahwa sektor manufaktur nasional tidak sedang mengalami kontraksi seperti yang diungkap pada publik melainkan terus bertumbuh dengan kehadiran fasilitas produksi baru dengan menyerap tenaga kerja lebih besar lagi,” tegas Febri.
Baca Juga: Garam Industri Langka, Ini Kata Kementerian Perindustrian
Empat Faktor Penentu
Febri optimistis serapan tenaga kerja di sektor industri, terutama industri padat karya ke depannya akan terus meningkat. Optimisme tersebut didukung oleh empat faktor.
Pertama, pemerintah telah menerbitkan revisi kebijakan relaksasi impor atau Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8 tahun 2024. Meski kebijakan ini berlaku dalam waktu dua bulan ke depan, namun semangatnya telah ditangkap oleh industri dalam negeri terutama industri yang berorientasi pasar domestik.
"Kebijakan ini diharapkan mengendalikan volume produk impor murah ke pasar domestik dan kembali mendongkrak utilisasi produksi serta penyerapan tenaga kerja terutama pada industri padat karya," ungkap Febri.
Kedua, Kemenperin telah merampungkan proses harmonisasi antar Kementerian terkait Rancangan Peraturan Menteri Perindustrian (RPermenperin) tentang KIPK (Kredit Industri Padat Karya). RPermenperin akan diterbitkan bersamaan dengan PMK (Peraturan Menteri Keuangan) yang juga masih dalam proses.
Dengan Permenperin ini maka sekitar 2.722 perusahaan industri pada karya akan berpeluang menikmati insentif dan membantu mereka menahan untuk tidak melakukan PHK terhadap tenaga kerjanya, meningkatkan utilisasi produksi, dan daya saing produknya.
Ketiga, dampak dua kesepakatan dagang. Yakni kesepakatan dagang Indonesia-Amerika Serikat (AS), serta antara Indonesia-Uni Eropa atau Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Dua kesepakatan ini diharapkan bisa menggairahkan industri dalam negeri terutama industri yang berorientasi ekspor.
Kemenperin telah menerima laporan dari beberapa industri dalam negeri yang sebelumnya berorientasi domestik, mulai mengarahkan produknya ke pasar AS dan Uni Eropa pasca penandatanganan kesepakatan dagang tersebut. Meningkatnya permintaan ekspor dan utilisasi produksi pasca kesepakatan dagang tersebut akan melindungi pekerja industri dari PHK dan menyerap tenaga kerja lebih banyak.
"Tidak hanya industri ekspor, industri berorientasi pasar domestik juga mulai tertarik untuk mengekspor produknya masuk pada pasar Amerika dan Uni Eropa. Perjanjian ini menjadi angin segar bagi industri yang sebelumnya kesulitan menembus pasar Eropa, dan akan memperluas kapasitas produksi, mempertahankan pekerja dan bahkanya menyerap tenaga kerja baru lebih banyak lagi,” papar Febri.
Keempat, Kemenperin akan meningkatkan demand produk manufaktur untuk memenuhi kebutuhan pemerintah melalui reformasi tata kelola Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Reformasi ini akan membuat proses penghitungan TKDN menjadi lebih mudah, cepat, dan efisien.
Skor TKDN yang tinggi akan meningkatkan aksesibilitas produk dalam negeri dalam belanja pemerintah, memperkuat permintaan industri lokal, meningkatkan utilisasi produksi dan menyerap tenaga kerja lebih banyak lagi. Saat ini, diperkirakan ada sekitar 3,2 juta orang yang bekerja pada industri dalam negeri yang memasok kebutuhan pemerintah.
“Kami meyakini dengan berbagai kebijakan strategis ini, sektor industri nasional akan tetap menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Narasi badai PHK yang dilekatkan pada industri manufaktur tidak menggambarkan keseluruhan dinamika industri yang sedang ekspansif saat ini,” ungkap Febri.
Febri juga menegaskan Kemenperin terus memperkuat daya saing industri nasional melalui kebijakan pendalaman struktur industri dan pengendalian impor produk jadi. “Kami mengajak semua pihak untuk menyampaikan data dan analisis secara seimbang agar menjaga daya iklim investasi terutama investasi manufaktur dalam negeri,” tandas Febri.
Baca Juga: Menperin Ungkap Potensi Industri Olahraga di Tengah Tren Gaya Hidup Sehat
Selanjutnya: Metropolitan Land Optimistis Segmen Hotel dan Properti Bangkit pada Semester II 2025
Menarik Dibaca: 4 Efek Samping Tretinoin untuk Wajah, Jangan Sembarangan Pakai!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News