Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diminta untuk memanggil manajemen BHP Billiton, perusahaan batubara asal Australia. Pemanggilan tersebut terkait dengan niat BHP yang akan menghentikan investasinya di Indonesia.
Anggota Komisi VII DPR RI, Dito Ganinduto menilai, Kementerian ESDM perlu memanggil manajemen BHP Billiton, terutama untuk meminta penjelasan soal rencana aksi korporasi BHP Billiton tersebut.
Dito meminta Pemerintah untuk turun tangan dan proaktif dalam mengevaluasi kinerja BHP dan memanggil perusahaan tambang asal Australia tersebut.
“Tidak bisa main pergi begitu saja, harus sesuai aturan,” kata dia, Selasa (24/5).
Dito mengatakan, kewajiban-kewajiban itu sudah tertuang dalam kontrak karya ketika mendapat izin penambangan. Pemerintah juga didesak untuk tidak begitu saja menyetujui keputusan BHP untuk ‘angkat kaki’ dari Indonesia tanpa kompensasi apapun. Kompensasi itu bisa diserahkan kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
Saat ini BHP Billiton menguasai 75% saham IMC, sisanya dimiliki PT Adaro Energy Tbk. PT IMC memegang tujuh konsesi PKP2B proyek batubara di Kalimantan, yakni PT Lahai Coal, PT Ratah Coal, PT Juloi Coal, PT Pari Coal, PT Sumber Barito Coal, PT Kalteng Coal dan PT Maruwai Coal. BHP juga berencana untuk melepas saham di PT IMC.
Sebelumnya, perusahaan batubara asal Australia tersebut telah resmi mengumumkan tengah meninjau ulang status proyek batubara mereka di Indonesia. Eksportir batubara jenis metalurgi terbesar di dunia itu mempertimbangkan untuk menghentikan pengoperasian seluruh aset pada proyek batubara di Indonesia.
Senada dengan Dito, Pengamat Energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, BHP Billiton harus menaati aturan main dalam melakukan bisnisnya terutama mengenai investasi mereka di Indonesia.
“Di dalam bisnis itu ada aturan mainnya, kalau mereka sudah sekian tahun belum produksi dan terus keluar tentu kan ada punishment, baik dalam bentuk share-nya harus ke perusahaan nasional sekian persen. Intinya kalau mereka mau hengkang, silakan. Tapi, kewajiban–kewajibannya harus diselesaikan. Jangan haknya saja diambil tapi tidak mau melaksanakan kewajiban. Jika masuknya ketok pintu, ya keluarnya pun pamitan-lah dengan baik-baik," kata Komaidi.
Komaidi menambahkan, ada kewajiban–kewajiban yang harus dilaksanakan selama melakukan proses eksplorasi di Indonesia, semisal terkait perbaikan lingkungan pasca eksplorasi.
Pemerintah Daerah dan Pusat dapat melakukan kalkulasi dan melakukan koordinasi dengan BHP Billiton mengenai mekanisme pembayaraan yang mereka ingin lakukan terhadap hal tersebut. Jadi memang ada hal yang tetap harus diselesaikan dan mereka tidak bisa secara langsung ‘angkat kaki’ begitu saja.
“Memang tetap harus diselesaikan. Jadi mereka juga tidak bisa angkat kaki begitu saja,” tandas Komaidi.
Sayangnya, Bambang Gatot Ariono, Dirjen Minerba Kementerian ESDM menegaskan, pihaknya belum berencana memanggil manajemen BHP Billiton terkait aksi korporasinya tersebut.
"Sampai saat ini belum ada rencana pemanggilan BHP Billiton," kata Bambang saat dihubungi melalui telepon selulernya, Selasa (24/5).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News